Biji kakao jembrana dari Bali.(Dok. Antara)
KAKAO Jembrana merupakan salah satu jenis kakao dari Indonesia yang diakui dunia. Single origin cokelat dari Bali itu diakui dunia salah satunya lewat penghargaan Cocoa of Excellence Silver Award 2023 yang diumumkan pada 2024 di Amsterdam, Belanda.
Kakao Jembrana diproduksi oleh Koperasi Kakao Kerta Semaya Samaniya (KSS), koperasi yang mengedepankan praktik perkebunan organik dan menghasilkan biji kakao fermentasi berkualitas internasional.
Pencapaian tersebut tidak diraih dengan mudah. Para petani Jembrana melewati banyak rintangan dan penolakan, mulai dari keraguan pasar hingga tantangan menjaga konsistensi mutu. Namun dengan dedikasi dan disiplin, kerja keras tersebut berbuah manis: dunia mengakuinya lewat
“Sejak awal kami percaya, kakao Jembrana punya potensi dunia. Dengan komitmen petani untuk memproduksi biji fermentasi berkualitas, kita bisa membuktikan bahwa kakao Indonesia mampu bersaing di panggung internasional,” ujar Agung Widiastuti, Direktur Yayasan Kalimajari, yang sejak 2011 mendampingi petani kakao Jembrana lewat program kakao berkelanjutan, dalam keterangan tertulis, Jumat, (3/10).
Dalam sesi talkshow peluncuran Raya Jembrana dari Pipiltin Cocoa (PT Rosso Bianco), Agung juga menekankan pentingnya agroforestri dan fermentasi. “Agroforestri memberi ruang bagi petani untuk menjaga ekosistem sambil tetap produktif. Fermentasi adalah kunci kualitas, karena dari proses itu lahir karakter rasa yang membuat kakao Jembrana diakui dunia," katanya.
Ketua Koperasi Kakao Kerta Semaya Samaniya (KSS), I Ketut Wiadnyana menambahkan bahwa penghargaan internasional bukanlah tujuan akhir, melainkan titik tolak keberlanjutan. “Kami bukan hanya sekadar koperasi yang mengumpulkan hasil panen. Kami memastikan setiap anggota memahami nilai fermentasi, transparansi harga, dan pentingnya sertifikasi berkelanjutan. Penghargaan Cocoa of Excellence menjadi pengakuan, tetapi yang lebih penting adalah keberlanjutan, agar petani tidak hanya menanam, tetapi juga merasakan nilai dari kerja keras mereka," katanya.
Estafet regenerasi menjadi bagian penting dari perayaan ini. I Made Dwi Mahardiasa (Bli Kadek), petani muda berusia 20 tahun dari Desa Candikusuma, hadir sebagai representasi generasi baru. “Banyak teman sebaya saya pindah ke kota. Tapi saya percaya kebun kakao punya masa depan. Di sini saya bisa membangun sesuatu, bukan hanya untuk saya sendiri, tapi juga untuk keluarga dan desa. Generasi muda harus melanjutkan supaya cerita kakao Jembrana tidak berhenti di orang tua kami," tambahnya.
Kisah estafet tersebut kemudian divisualisasikan lewat pameran foto bertajuk “Resilience” karya Beawiharta, mantan fotografer Reuters yang kini dikenal sebagai visual storyteller. “Melalui Resilience saya ingin menunjukkan bahwa kakao bukan sekadar bahan pangan, melainkan kisah estafet antar generasi. Ini adalah tentang cinta pada tanah dan kebanggaan pada Indonesia," katanya. (Ant/H-3)


















































