Agar Para Tuli, Autistik, serta Disabilitas tidak Terlihat Lainnya Nyaman dan Aman di Ruang Publik

2 hours ago 1
Agar Para Tuli, Autistik, serta Disabilitas tidak Terlihat Lainnya Nyaman dan Aman di Ruang Publik FGD “Studi Praktik Pendekatan Inklusif pada Desain Arsitektur Interior: Mewujudkan Ruang Publik yang Aksesibel bagi Penyandang Disabilitas Tidak Terlihat” digelar di Jakarta, pada Kamis (11/10).(Dok KND)

Ruang publik sering kali dipandang hanya dari sisi estetika dan fungsi umum. Namun, bagi 26 juta penyandang disabilitas di Indonesia, ruang publik berarti lebih dari sekadar tempat berkumpul. Ruang publik adalah simbol pengakuan hak, rasa aman, dan kesempatan untuk berpartisipasi.

Tantangan ini mengemuka dalam Forum Group Discussion  (FGD) bertajuk “Studi Praktik Pendekatan Inklusif pada Desain Arsitektur Interior: Mewujudkan Ruang Publik yang Aksesibel bagi Penyandang Disabilitas Tidak Terlihat” yang digelar di Gedung Cawang Kencana, Jakarta, pada Kamis (11/10).

Kegiatan ini mempertemukan akademisi, praktisi, korporasi, dan lembaga negara. Head of Communication and Chair EDI Board Unilever Indonesia Kristy Nelwan yang membagikan pengalaman praktik Equality, Diversity, and Inclusion (EDI) di dunia kerja.

Pimpinan UPTD Perpustakaan Taman Ismail Marzuki (TIM) Diki Lukman Hakim dari Perpustakaan Jakarta di Taman Ismail Marzuki memaparkan praktik aksesibilitas di fasilitas publik. Ketua Tim Penelitian Hibah 2025 Rachmita Maun Harahap dan Ketua Komisi Nasional Disabilitas (KND) Dante Rigmalia menekankan pentingnya ruang yang benar-benar inklusif.

Suara personal jadi titik awal
Dalam sambutannya, Dante Rigmalia membagikan pengalaman pribadinya sebagai individu dengan disleksia dan hambatan pendengaran. Sejak sekolah, ia kerap menghadapi stigma dan salah persepsi dari guru maupun teman.

“Ketidakpahaman orang di sekitar bisa membuat seorang disabilitas memilih mengurung diri dari ruang publik,” ujar Dante. Baginya, aksesibilitas bukan hanya soal fasilitas, tetapi juga pemahaman kompleks dari para perancang ruang.

Rachmita Maun Harahap menambahkan perspektif tentang disabilitas tak terlihat (DTT), mulai dari Tuli, intelektual grahita dan down sindrom, mental psikososial, perkembangan autis/ADHD, disleksia hingga dwarfisme.

Menurutnya, kelompok ini sering kali terabaikan dalam desain ruang publik. “Desain inklusif bukan soal belas kasihan, melainkan penghormatan terhadap hak,” tegasnya.

Ia juga mengkritisi minimnya keterlibatan penyandang disabilitas dalam penyusunan regulasi teknis bangunan, padahal keputusan tersebut langsung memengaruhi kehidupan mereka.

Praktik Baik dari Dunia Bisnis dan Fasilitas Publik
Kristy dari Unilever memaparkan bagaimana perusahaan multinasional ini menginternalisasi nilai EDI. Ada tiga pilar utama: kesetaraan gender, kesetaraan untuk penyandang disabilitas, serta penghapusan stigma dan diskriminasi.

Di tingkat praktik, Unilever menyediakan kursus bahasa isyarat, program kewirausahaan untuk perempuan penyandang disabilitas, hingga desain kantor yang dirancang terbuka, terang, dan aksesibel. “Kami belajar bahwa kebutuhan disabilitas tak terlihat sering kali diabaikan karena tidak tampak secara fisik. Padahal, stigma dan ketidakpahaman justru menjadi hambatan terbesar,” kata Kristy.

Sementara itu, Riki Lukman Hakim menuturkan transformasi Perpustakaan Jakarta yang kini memiliki ruang inklusi, koleksi braille, audiobook, komputer dengan pembaca layar, hingga bilik privasi untuk mengurangi polusi suara. “Kami ingin perpustakaan bukan hanya tempat buku, tapi ruang interaksi inklusif,” katanya. Meski demikian, ia mengakui masih banyak yang perlu diperbaiki, seperti simbol penunjuk yang terlalu kecil atau kebutuhan akustik untuk penyandang disabilitas mental.

Tantangan Nyata di Lapangan
Diskusi kelompok memperlihatkan berbagai tantangan sehari-hari yang dihadapi penyandang disabilitas tak terlihat. Seorang peserta dengan autisme menceritakan pengalamannya ditegur saat mengambil air wudhu karena orang lain tidak memahami kondisinya.

Peserta lain menyoroti parfum yang terlalu kuat di ruang privasi perpustakaan yang justru memicu stres bagi penyandang autisme. Ada juga yang menyoroti kebutuhan tanda arah yang lebih jelas untuk disleksia serta rancangan jalur kursi roda yang lebih ramah.

Rachmita menegaskan pentingnya paradigma baru: ruang publik harus dirancang bukan hanya untuk “rata-rata orang,” melainkan untuk keragaman. “Penyandang disabilitas tidak terlihat perlu dilibatkan langsung dalam proses desain. Mereka tahu persis hambatan apa yang ada,” ujarnya.

Menuju Panduan Desain Inklusif
Hasil FGD ini tidak berhenti pada diskusi. Tim riset berencana menyusun draft buku panduan studi perancangan arsitektur interior inklusif yang dapat menjadi rujukan arsitek dan desainer atau perancang kota di Indonesia.

Harapannya, panduan ini mampu menerjemahkan amanat UU No. 8/2016 dan PP 16/2021 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No 28/2002 tentang Penyelenggaran Bangunan Gedung ke dalam praktik nyata yang mempertimbangkan kebutuhan seluruh ragam disabilitas.

Dari sisi korporasi, Kristy menekankan pentingnya sikap terbuka terhadap masukan.  “Kami belajar banyak dari penyandang disabilitas tidak terlihat sendiri. Kebutuhan bisa berbeda-beda, sehingga perusahaan harus siap mereview dan memperbaiki terus-menerus,” ujarnya. Sementara Riki menegaskan bahwa Perpustakaan di TIM  akan terus meng-upgrade fasilitas dan melatih staf agar lebih peka.

Inklusivitas sebagai Budaya, Bukan Tambahan
FGD ini, kata Rachmita, menggarisbawahi satu pesan penting: inklusivitas bukan pelengkap, melainkan inti dari perancangan ruang publik. Bagi Dante, pengalaman di luar negeri menunjukkan bahwa aksesibilitas yang baik bisa mengubah hidup penyandang disabilitas. Bagi Rachmita, desain inklusif adalah wujud penghormatan hak asasi. Bagi Kristy dan Riki, praktik baik dimulai dari keberanian mencoba, mendengar masukan, dan terus memperbaiki.

Pada akhirnya, ruang publik yang ramah disabilitas tak terlihat bukan hanya memudahkan kelompok tertentu, melainkan menjadikan kota lebih manusiawi bagi semua. Dari pintu otomatis, pencahayaan yang nyaman, hingga tanda arah yang jelas, detail kecil itu dapat membuka ruang besar bagi partisipasi setara. Inklusivitas adalah proses bersama. Ia menuntut keberanian untuk mendengar suara yang selama ini tidak terlihat, agar setiap orang bisa merasa: ruang ini juga milikku.  (X-8)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |