
WAKIL Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mengatakan anak yang mengalami kekerasan bisa berujung pada gangguan kejiwaan, bahkan bunuh diri. Di Indonesia, katanya, angka masalah kesehatan jiwa pada anak dan remaja cukup tinggi.
Survei Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) 2022 menunjukkan, 5,5% remaja usia 10-17 tahun didiagnosis memiliki gangguan mental.
Survei I-NAMHS juga menunjukkan, 34,9% remaja mengalami masalah kesehatan mental, dan 5,5% mengalami gangguan mental. Dari jumlah tersebut, hanya 2,6% yang mengakses layanan konseling.
Prevalensi depresi di Indonesia pada tahun 2023 sebesar 1,4%. Prevalensi depresi paling tinggi ada pada kelompok anak muda (15-24 tahun), yaitu sebesar 2%.
Data Riset Kesehatan Dasar (Rikesda) tahun 2018 menunjukkan, 9,8% anak-anak Indonesia mengalami gangguan kesehatan jiwa ringan. Data KPAI 2023 ada 46 anak mengakhiri hidup.
“10 tahun belakangan berbagai penyebab anak mengakhiri hidup, antara lain diingatkan tidak selalu main hp; karena nilai pendidikan atau hasil ujian; cyber bullying; perlakuan salah dan manipulatif dari para pelaku yang menjebak anak mengakhiri hidup,” kata Jasra dalam keterangannya, Minggu (2/3).
Kemudian mengikuti tren seperti self harm menyakiti diri, dan bundir karena hamil di luar nikah, diajak orang tua karena berbagai sebab, hingga diajak orang terdekat karena berbagai sebab.
Menurutnya, isu anak mengakhiri hidup masih jauh dari persoalan atau diskursus masyarakat. Akibatnya lebih banyak ditemukan anak sudah berada di stadium 4 dalam dampak gangguan jiwa sehingga sangat terlambat.
“Umumnya anak melakukan ini karena tidak tahu harus apa, tidak terbiasa mengenal akses layanan kejiwaan, perlakukan salah, ketidakmampuan anak menyelesaikan masalah, tertutupnya ruang anak di keluarga, sekolah, dan lingkungan, diawali tidak memiliki rasa aman dengan berbagai sebab, merasa tidak atau jarang mendapatkan apresiasi dalam hal apa pun,” paparnya.
Normalisasi mengakhiri hidup sering dibahas karena penyebab yang terlihat, tapi faktor yang tidak terlihat tidak mau diungkap mendalam. Misalnya lebih melihat penyebab karena kumpul dengan kenakalan anak atau kenakalan remaja, pantas mendapatkan karena di stigma anak nakal (baik di pertemanan, sekolah, lingkungan), atau dianggap mengkonsumsi narkotika, tawuran, dan lain-lain.
“Padahal di balik kondisi yang terlihat, sebenarnya anak anak mengakhiri hidup lebih banyak penyebabnya adalah faktor tidak terlihat, puncak masalah anak, tumpukan masalah anak, dan pembiaran atau pengabaian sekian lama,” kata Jasra.
Berbagai penyebab menjadi rentetan menguatnya keinginan mengakhiri hidup anak, katanya, penting menjadi perhatian. Seperti anak anak yang merasa mengalami ketidakberdayaan dalam masalahnya, munculnya tekanan dan menjadi beban psikologis tinggi, memunculkan rasa kesepian yang sangat lama.
Kemudian perasaan menjadi bagian sesuatu yang sesungguhnya belum sepenuhnya benar, akibat stigma dari orang tua, keluarga teman dan lingkungan.
“Saya berharap Ramadan kali ini, lebih banyak penceramah yang melakukan riyadhoh jiwa (mengolah, raga, rasa jiwa). Pemerintah juga memiliki kesempatan di bulan Ramadan ini, membangun rujukan layanan kejiwaan yang benar di masyarakat, terutama anak. Sehingga tidak ada yang menjauhi layanan kesehatan jiwa, tetapi menjadi kebutuhan,” pungkasnya. (Ifa/M-3)