Usulan Dedi Mulyadi soal Penyeragaman UMK Dinilai tidak Logis

2 hours ago 1
Usulan Dedi Mulyadi soal Penyeragaman UMK Dinilai tidak Logis Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi.(MI/ Bayu Anggoro)

USULAN Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi terkait penyeragaman besaran upah minimum kota (UMK) dinilai tidak logis. Alih-alih memperkuat investasi, hal itu dinilai justru akan menimbulkan disparitas terutama dari sisi perekonomian.

Demikian disampaikan ekonom Universitas Pasundan Bandung, Acuviarta, saat diminta tanggapannya terkait usulan penyeragaman UMK. "Saya tidak sependapat dengan gagasan itu. Berdasarkan kajian ekonomi, saya kira usulan ini sangat tidak mungkin dilakukan," kata Acuviarta, Rabu (6/8).

Dia menilai, besaran UMK di seluruh Indonesia tidak mungkin disamakan karena setiap daerah memiliki tingkat inflasi yang berbeda-beda. Selain mempertimbangkan biaya hidup bagi tenaga kerja, setiap daerah pun memiliki biaya investasi yang berbeda-beda. "Biaya sewa lahan di Bandung tentu akan berbeda dengan di daerah lain," katanya.

Selain itu, lanjutnya, setiap daerah pun memiliki ketersediaan infrastruktur yang berbeda-beda, sehingga salah satunya berdampak terhadap biaya logistik. "Biaya transportasi di suatu daerah tentunya akan berbeda dengan di daerah lainnya," ujarnya.

Jika penyeragaman besaran UMK ini diberlakukan, menurutnya hanya akan menimbulkan penumpukan investasi di salah satu daerah saja, terutama di daerah yang infrastrukturnya sudah baik.

Jika hal ini terjadi, kesenjangan ekonomi dan investasi dipastikan terjadi. "Pengusaha hanya akan mencari tempat yang insentif investasinya lebih besar, karena upah sudah tidak lagi menjadi pertimbangan. Mungkin nanti investasinya akan dikonsentrasikan di satu daerah itu," jelasnya.

Cara Lain untuk Menarik Investasi

Sebaliknya, menurut Acuviarta, terdapat berbagai cara yang bisa dilakukan pemerintah untuk menjaga daerahnya agar tetap menjadi tujuan investasi. "Insentif investasi itu tidak hanya terkait pengupahan saja, tapi banya cara-cara lain yang bisa dilakukan pemerintah," ujarnya.

Menurut dia, pemerintah bisa membantu investor melalui penyediaan lahan yang murah dan murah. "Bantu terkait penyediaan lahan. Jangan ada mafia," katanya.

Selain itu, hal lain yang menjadi kewajiban pemerintah adalah menyiapkan infrastruktur yang baik sehingga bisa memudahkan pergerakan barang. "Sehingga transportasi menjadi mudah dan biayanya bisa ditekan," ujarnya seraya menyebut pemerintah pun harus meningkatkan daya beli masyarakat sehingga produk-produk industri dalam negeri bisa lebih terserap.

Tak hanya itu, menurutnya pemerintah juga harus membantu pendistribusian dari setiap barang yang dihasilkan industri. Hal ini sangat penting karena seringkali menjadi penyebab hancurnya kinerja perusahaan.

"Kalau kita lihat, industri gagal itu karena rendahnya daya beli masyarakat dan gagal dalam mencari pasar ekspor. Jadi saya kira pemerintah ini harus memberikan perluasan pasar ekspor," katanya.

Adanya kerjasama Indonesia dengan Uni Eropa terkait perluasan pasar ekspor menjadi angin segar bagi industri dalam negeri. "Itu sangat terasa, membuka pasar ekspor sehingga market size-nya menjadi lebih besar. Jadi insentif untuk investasi itu bukan hanya terkait upah," katanya.

Dengan begitu, dia optimistis investasi akan bertahan jauh lebih lama di suatu daerah meski besaran UMK-nya dinamis. "Buat industri, berpindah (daerah investasi) itu suatu pilihan yang sulit," katanya.

Konsep Dedi Mulyadi soal UMK

Seperti diketahui, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengusulkan agar besaran UMK tidak lagi berbeda-beda di setiap daerah. Menurutnya, akan lebih baik jika setiap daerah memiliki nilai UMK yang sama sesuai dengan sektornya masing-masing.

Hal ini disampaikan Dedi saat menghadiri rapat kerja dan konsultasi nasional APINDO 2025, di Bandung, Selasa (5/8). Dedi menjelaskan, penetapan nilai UMK yang berbeda-beda di setiap daerah mengundang banyak persoalan mulai dari kesenjangan ekonomi hingga politisasi.

"Penetapan UMK ini sering kali menimbulkan problem. Misalnya di Kabupaten Sumedang, yang tetanggaan dengan Subang dan Bandung, begitu juga di Purwakarta yang berbatasan dengan Karawang, tapi UMK-nya beda antara Rp500 ribu- Rp1 juta," katanya.

Menurut dia hal ini kurang efektif terutama demi keberlanjutan industri di suatu daerah. Pengusaha, lanjut Dedi, bisa saja dengan mudah memindahkan pabriknya ke daerah lain yang UMK-nya lebih murah demi efektivitas perusahaan.

"Jadi tidak lagi industri dari Karawang pindah ke Indramayu karena UMK-nya lebih murah. Nanti dari Indramayu pindah lagi ke Jawa Tengah karena UMK-nya lebih murah," kata dia.

Selain itu, menurutnya penetapan nilau UMK yang berbeda-beda seperti saat ini rentan dipolitisasi. Dia menilai, kepala daerah bisa tidak objektif dalam menetapkan UMK karena banyaknya tekanan dari berbagai pihak yang berkepentingan.

"Apalagi kalau yang kepala daerahnya tidak tahan tekanan. Dia bisa menaikkan UMK karena tekanan politik atau demi popularitas. Itu kan tidak sehat," katanya.

Maka dari itu, Dedi mengusulkan agar nilai UMK diberlakukan sama secara nasional berdasarkan sektornya masing-masing. Dengan begitu, pembahasan UMK dilakukan pemerintah pusat, tidak lagi dilakukan oleh pemerintah daerah masing-masing. "Upah itu diberlakukan sama setiap sektor, dan terpusat. Berlaku sama di seluruh Indonesia," ujarnya.

Sebagai contoh, tambah dia, industri sektor pertambangan di seluruh Indonesia memiliki nilai UMK yang sama. Begitu pun terjadi pada sektor-sektor lainnya seperti makanan dan minuman, serta energi. "Ini akan membuat iklim industri menjadi lebih kondusif. Karena semua daerah memiliki nilai UMK sama," katanya.

Dengan penetapan UMK berbasis sektoral inipun, kewenangannya tidak lagi berada di daerah melainkan pemerintah pusat. "Jadi kewenangannya tidak lagi di daerah, yang biasanya lahir dari tekanan politik," katanya. (M-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |