Unika Atma Jaya Kukuhkan Tiga Profesor Bidang Strategis: Keuangan, Hukum, dan Kekayaan Intelektual

6 hours ago 6
 Keuangan, Hukum, dan Kekayaan Intelektual Ilustrasi(Dok Unika Atma Jaya)

UNIVERSITAS Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya kembali menorehkan sejarah akademik dengan mengukuhkan tiga Profesor, yaitu Prof. Dr. Siti Saadah, S.E., M.T. dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Prof. Dr. Natalia Yeti Puspita, S.H., M.Hum., dan Prof. V. Selvie Sinaga, S.H., LL.M., Ph.D. dari Fakultas Hukum. Prosesi pengukuhan dilangsungkan dalam Sidang Terbuka Senat Guru Besar pada Kamis (24/04) di Gedung Yustinus Lt. 15, Kampus Semanggi, Unika Atma Jaya, dan dihadiri oleh keluarga, kolega, serta para Guru Besar Tamu dari berbagai institusi.

Ketiga Profesor ini memperkuat barisan akademisi yang meneguhkan posisi Unika Atma Jaya sebagai institusi pendidikan tinggi unggulan dengan kontribusi ilmiah yang berdampak bagi pembangunan nasional maupun global. Pengukuhan dilakukan oleh Rektor Unika Atma Jaya, Prof. Dr. dr. Yuda Turana, Sp.S(K), serta dipimpin oleh Ketua Dewan Guru Besar Unika Atma Jaya, Prof. Dr. Laura F. N. Sudarnoto.
Rektor Unika Atma Jaya, Prof. Dr. dr. Yuda Turana, Sp.S(K), menyampaikan rasa bangga dan harapan atas dikukuhkannya ketiga Profesor tersebut.

“Pengukuhan ini bukan sekadar upacara formal, melainkan bentuk pengakuan atas dedikasi, komitmen, dan kontribusi nyata dalam menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Untuk itu, saya sampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya. Menjadi Guru Besar bukan hanya tentang mengajar, tetapi juga tentang menjadi pemimpin pemikiran, penggerak pengembangan ilmu pengetahuan, serta pembina generasi penerus. Semoga pengukuhan ini semakin mendorong terciptanya budaya akademik yang unggul demi kemajuan bangsa,” ujar Prof. Yuda.

Konglomerasi Keuangan dan Potensi Risiko Sistemik 

Dalam orasi ilmiahnya, Prof. Siti Saadah mengangkat isu krusial bertajuk “Konglomerasi Keuangan dan Potensi Risiko Sistemik”. Ia menyoroti betapa pentingnya kewaspadaan terhadap keterkaitan antar lembaga jasa keuangan dalam satu konglomerasi, yang dapat menjadi pemicu krisis sistemik bila tidak diawasi dengan ketat.

“Dalam situasi interkonektivitas tinggi antar lembaga keuangan, satu gangguan bisa merambat cepat dan mengganggu stabilitas ekonomi nasional. Oleh karena itu, pengawasan berbasis risiko terhadap konglomerasi keuangan sangatlah mendesak,” ujar Prof. Siti.

Studi ini menggunakan metode generalized vector autoregressive untuk mengukur volatility spillover antar entitas dalam konglomerasi dan telah memperoleh penghargaan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) atas kontribusi risetnya.

Hasil penelitiannya mengungkap bahwa intensitas ancaman risiko sistemik dari interconnectedness antar-unit bisnis dalam konglomerasi cenderung meningkat saat perekonomian memasuki fase kontraksi, fase yang secara umum memiliki probabilitas tinggi terhadap potensi risiko sistemik. Temuan ini menjadi penting sebagai salah satu early warning system dalam mendeteksi risiko sistemik yang bisa ditransmisikan dengan cepat.

Menariknya, pendekatan spillover yang digunakan juga menunjukkan bahwa transmisi shock tidak hanya berasal dari perusahaan induk ke anak perusahaan, tetapi juga bisa sebaliknya dari anak ke induk. Hal ini mempertegas perlunya pengawasan dua arah dalam struktur konglomerasi keuangan guna menjaga stabilitas ekonomi secara menyeluruh.

Sustainable Climate Resilience: Pendekatan Holistik Integratif Hukum Internasional dalam Penanggulangan Bencana

Prof. Natalia dalam orasi ilmiahnya mengusung topik “Sustainable Climate Resilience: Pendekatan Holistik Integratif Hukum Internasional dalam Penanggulangan Bencana”. Ia menekankan bahwa perubahan iklim telah menjadi tantangan global yang tidak dapat diselesaikan secara parsial, melainkan membutuhkan pendekatan hukum internasional yang menyeluruh dan terintegrasi.

“Bencana iklim bukan lagi isu lokal, tetapi krisis global yang memerlukan respons lintas negara dengan sinergi regulasi, kebijakan, dan peran masyarakat. Hukum internasional harus menjembatani semua ini secara integratif,” ujar Prof. Natalia.

Dalam orasinya, Prof. Natalia menjelaskan bahwa ketahanan iklim berkelanjutan harus dibangun melalui kerangka hukum yang mampu mengantisipasi, merespons, dan memulihkan dampak bencana secara holistik, serta menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Ia menguraikan peran instrumen hukum internasional seperti Paris Agreement dan Sendai Framework for Disaster Risk Reduction dalam menciptakan sistem mitigasi dan adaptasi global terhadap bencana iklim.

Ia juga menyoroti perlunya pergeseran paradigma tentang kedaulatan negara. Dalam konteks bencana global, kedaulatan tidak boleh menjadi penghalang terhadap pemberian bantuan kemanusiaan dan pemenuhan hak-hak dasar warga negara, terutama kelompok rentan seperti pengungsi iklim.

“Ketika negara tidak mampu atau tidak mau memberikan perlindungan terhadap warganya yang terdampak bencana, maka hukum internasional memiliki legitimasi untuk bertindak. Kemanusiaan dan keberlanjutan harus menjadi prioritas,” tegasnya.

Prof. Natalia menutup orasinya dengan menyerukan pentingnya kerja sama global yang berkelanjutan serta reformasi hukum nasional yang sejalan dengan prinsip perlindungan lingkungan dan keadilan sosial. Ia juga mengutip ensiklik Laudato Si dari Paus Fransiskus yang menyerukan tanggung jawab moral umat manusia dalam merawat bumi sebagai rumah bersama.

Sistem Paten di ASEAN dan Perbandingannya dengan ARIPO, OAPI, dan EU
Dalam orasi ilmiahnya, Prof. Selvie mengangkat tema “Sistem Paten di ASEAN dan Perbandingannya dengan ARIPO, OAPI, dan EU”. Ia menyoroti kesenjangan harmonisasi sistem paten antar negara-negara ASEAN dan membandingkannya dengan praktik terbaik yang diterapkan oleh organisasi regional seperti ARIPO, OAPI, dan EU.

“ASEAN memerlukan integrasi sistem paten yang lebih solid agar dapat bersaing secara global dalam ranah inovasi teknologi. Harmonisasi ini tidak akan tercapai tanpa adanya kemauan politik dari setiap negara anggotanya,” ujar Prof. Selvie.

Ia menjelaskan bahwa belum mudah bagi ASEAN untuk menyusun satu peraturan yang berlaku di semua negara anggota terkait pendaftaran paten maupun untuk mendirikan Kantor Hak Kekayaan Intelektual (HKI) ASEAN. Hal ini disebabkan oleh kompleksitas tujuan ASEAN yang bersifat multidimensi, mulai dari politik, keamanan, sosial, hingga ekonomi dan budaya berbeda dengan ARIPO dan OAPI yang fokus utamanya adalah kerja sama HKI.

Prof Selvie  merekomendasikan pendirian ASEAN Patent Office serta penyusunan ASEAN Common Guidelines on Patent Examination demi memperkuat sistem paten yang harmonis dan mendorong investasi. Menurutnya, dibutuhkan political will dari semua negara anggota ASEAN untuk menyatukan sistem paten yang berbeda-beda, agar dapat membentuk struktur HKI regional yang kuat dan efektif.

Melalui proses Pengukuhan Profesor ini, Unika Atma Jaya secara resmi menambah jumlah Profesor. Prof. Natalia merupakan profesor urutan ke-25, Prof. Selvie sebagai profesor urutan ke-26, dan Prof. Siti Saadah sebagai profesor urutan ke-27. (H-2)
 

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |