
DEWAN Pakar BPIP Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri, Darmansjah Djumala, mengatakan, Konferensi Asia Afrika (KAA) merupakan legacy Indonesia dalam norma geopolitik atau hubungan politik antara bangsa-bangsa di dunia.
Djumala mengatakan, Indonesia menggagas KAA karena didorong oleh niat untuk menghimpun persatuan negara-negara yang baru merdeka dan yang masih terjajah di benua Asia dan Afrika. Situasi dunia saat itu yang masih dihantui oleh Perang Dingin sangat rentan menarik negara-negara berkembang yang baru merdeka untuk masuk ke dalam orbit pengaruh politik dan ideologi super power kala itu, yaitu Blok Barat berhaluan Liberal-Kapitalis yang dipimpin oleh AS dan Blok Tmur berideologi Sosialis-Komunis di bawah pengaruh Uni Soviet.
Indonesia berinisiatif untuk mempersatukan negara-negara berkembang dalam menghadapi rivalitas dua blok ideologi super power itu. KAA berhasil merumuskan prinsip dasar dalam menghadapi politik internasional saat itu, yaitu menghormati kedaulatan negara, non-intervention terhadap urusan dalam negeri, dan menciptakan perdamaian.
“Dalam pergaulan internasional, nama Indonesia tercatat dalam sejarah sebagai penggagas sekaligus tuan rumah Konferensi Asia Afrika di Bandung, pada April 1955. Bandung Spirit (Semangat Bandung) yang berisi 10 prinsip dasar politik luar negeri, yang disebut Dasasila Bandung, menjadi legacy Indonesia dalam norma hubungan politik antara bangsa-bangsa di dunia," ujar Djumala, dalam keterangan tertulis yang diterima Media Indonesia, Sabtu, (26/4).
Dalam sambutannya di acara Konferensi Asia Afrika (KAA): Peran Indonesia Membangun Perdamaian Dunia dengan Ideologi Pancasila yang diselenggarakan BPIP dalam rangka memperingati 70 tahun KAA, 25 April 2025, Dubes Djumala mengungkapkan, jika ditilik secara normatif, tiga prinsip KAA itu sangat bersesuaian dengan nilai Pancasila, yaitu kemanusian, persatuan dan keadilan sosial.
Ketiga prinsip hasil KAA ini kemudian dijadikan dasar oleh lima pemimpin negara berkembang saat itu (Josip Broz Tito, Yugoslavia; Jawaharlal Nehru, India; Gamal Abdel Nasser, Mesir; Sukarno, Indonesia; dan Kwame Nkrumah, Ghana) untuk membentuk Gerakan Non Blok; sebuah gerakan yang melawan kolonialisme, tidak memihak pada kekuatan blok ideologis, penciptaan perdamaian melalui kerjasama antar negara berkembang.
Dubes Djumala menunjukkan legacy Indonesia dengan penyelenggaraan KAA itu. Dikatakannya, KAA menginspirasi negara-negara terjajah untuk memerdekakan diri dari kolonialisme. Diungkapkan bahwa setelah KAA setidaknya ada 25 negara di Asia dan Afrika yang berhasil melepaskan dari belenggu penjajahan.
“Legacy Indonesia dari KAA tidak hanya bisa dilihat dari berhasilnya menginspirasi negara terjajah untuk merdeka saja. Tapi yang lebih penting lagi adalah hingga sekarang nilai dan norma yang terkandung dalam Dasasila Bandung masih tetap relevan dengan situasi dunia saat ini, terutama dalam hal prinsip kemerdekaan, kemandirian, kemerdekaan, non-intervention dan perdamaian," tutupnya. (H-3)