Thrifting Ilegal Ancam UMKM Lokal, Pengamat Desak Penegakan Hukum Tegas

1 week ago 19
Thrifting Ilegal Ancam UMKM Lokal, Pengamat Desak Penegakan Hukum Tegas ilustrasi.(MI)

MARAKNYA praktik thrifting atau jual-beli pakaian bekas impor secara ilegal dinilai menjadi ancaman serius bagi pelaku usaha kecil di sektor tekstil dan pakaian jadi. Sejumlah pakar menilai, derasnya arus pakaian bekas dari luar negeri telah menekan daya saing industri lokal dan menggerus pasar produk UMKM.

Pakar perkoperasian sekaligus penggerak UMKM, Dewi Tenty, menyebut fenomena ini bukan sekadar tren gaya hidup. “Ini sudah menjadi ancaman eksistensial bagi UMKM lokal,” ujarnya dalam keterangannya, Jakarta, Kamis (30/10).

Ia menilai, derasnya peredaran pakaian bekas impor membuat banyak produsen rumahan kehilangan pasar. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, nilai impor pakaian bekas melonjak tajam dari US$44 ribu (8 ton) pada 2021 menjadi US$272 ribu (26,22 ton) pada 2022. Meski volume impor menurun pada 2023, dampaknya masih terasa di tingkat pelaku usaha. Harga murah menjadi daya tarik utama.

“Dengan Rp100 ribu, konsumen bisa membeli tiga potong pakaian thrifting. Produk lokal dengan kualitas serupa jelas sulit bersaing,” kata Dewi.

Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament (Apsyfi) mencatat, masuknya pakaian bekas impor ilegal telah menggerus konsumsi produk tekstil lokal hingga 432 ribu ton pada 2022, atau sekitar 23% dari pangsa pasar domestik.

Fenomena pasar thrifting bahkan mendapat ruang di sejumlah daerah. Menurut Dewi, langkah pemerintah daerah yang memberi izin operasi pasar pakaian bekas impor justru kontraproduktif. “Kebijakan seperti ini melemahkan UMKM dan memberi ruang bagi praktik ilegal,” ucapnya.

Ia juga menyoroti peran influencer yang ikut mempopulerkan thrifting melalui media sosial dengan slogan 'serunya berburu barang thrifting'. “Tanpa sadar, kampanye semacam ini memperkuat permintaan barang ilegal yang merugikan ekonomi lokal,” kata Dewi.

Di balik klaim ramah lingkungan, praktik thrifting ilegal dinilai berpotensi menimbulkan masalah baru. Dewi menjelaskan, sebagian besar pakaian bekas yang masuk ke Indonesia merupakan limbah tekstil dari negara asal. “Alih-alih mengurangi sampah, tren ini malah menambah beban lingkungan karena Indonesia menjadi tempat pembuangan baru,” ujarnya.

Dewi membedakan antara thrifting ilegal dan preloved lokal. Thrifting ilegal, katanya, mengacu pada impor pakaian bekas dalam jumlah besar dengan asal-usul tidak jelas, sedangkan preloved adalah penjualan barang pribadi dengan kondisi terjamin.

Dewi mendesak pemerintah menindak tegas praktik impor ilegal ini. Ia meminta Kementerian Perdagangan, Bea Cukai, dan aparat penegak hukum bersinergi untuk memberantas jaringan perdagangan pakaian bekas ilegal.

Selain langkah hukum, ia menilai kesadaran konsumen juga menjadi kunci. “Membeli produk UMKM bukan sekadar transaksi ekonomi, tapi bentuk dukungan terhadap kemandirian bangsa,” tuturnya.

Dewi menutup dengan seruan agar masyarakat kembali mencintai produk dalam negeri. “Harga produk lokal mungkin sedikit lebih tinggi, tapi dari sana kita memberi semangat bagi pelaku usaha untuk terus berkarya,” ujarnya. (Cah/P-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |