Tarif Pajak E-Commerce Bikin Beban Konsumen Kian Berat

8 hours ago 5
Tarif Pajak E-Commerce Bikin Beban Konsumen Kian Berat Pekerja menawarkan produk dagangannya secara daring melalui aplikasi E-Commerce di Bandung, Jawa Barat.(ANTARA/Raisan Al Farisi)

SEKRETARIS Jenderal Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Budi Primawan menilai kebijakan baru pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 terhadap pedagang di platform marketplace berpotensi menambah beban bagi konsumen. 

Menurutnya, kebijakan tersebut tidak menciptakan beban pajak baru bagi penjual, melainkan mengalihkan mekanisme pemungutannya kepada platform digital, dalam hal ini marketplace. Namun, dalam pratiknya bagi pedagang kecil dan menengah yang margin keuntungannya tipis, mungkin akan menyesuaikan harga jual untuk mengompensasi pemotongan PPh 22. Dampaknya, harga barang di marketplace bisa naik. 

"Pajak memang dibebankan kepada seller. Tapi dalam praktiknya, beban tersebut berpotensi diteruskan ke konsumen, tergantung strategi tiap penjual," kata Budi, Selasa (15/7).

Pemungutan PPh Pasal 22 terhadap pedagang di platform marketplace tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 37/2025 tentang Penunjukan Pihak Lain sebagai Pemungut Pajak Penghasilan serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan yang Dipungut oleh Pihak Lain atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Pedagang Dalam Negeri dengan Mekanisme Perdagangan melalui Sistem Elektronik.

Menurut Budi, potensi kenaikan harga di marketplace tergantung dari transaksi. Dampaknya mungkin terasa kecil dalam satu transaksi karena besaran pajak tergantung dari nilai penjualan. Namun jika dilihat secara kumulatif dari frekuensi belanja konsumen, potensi beban tambahannya bisa cukup signifikan.

"Kalau ada (kenaikan harga), per transaksi bisa kecil. Tapi kalau secara akumulasi, bisa besar," imbuhnya.

idEA menilai implementasi aturan ini memerlukan masa transisi yang memadai serta sosialisasi yang menyeluruh, khususnya bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang belum terbiasa dengan sistem perpajakan digital. Berdasarkan konsensus antar-marketplace, dibutuhkan waktu persiapan setidaknya satu tahun sebelum pelaku usaha dapat menjalankan peran sebagai pemungut pajak secara efektif.

"Kami juga menunggu arahan lebih lanjut dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP), termasuk panduan teknis yang komprehensif. Harapannya, pelaku industri, termasuk UMKM, dapat menyesuaikan diri dengan baik," ujar Budi.

idEA juga menegaskan kesiapan untuk berdialog dan mendukung implementasi kebijakan ini secara adil dan proporsional, tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi digital nasional.

Meskipun mendukung tujuan pemerintah dalam memperluas basis pajak nasional, idEA mengingatkan pelaksanaan kebijakan ini tidak lepas dari tantangan teknis dan administratif yang perlu disikapi secara hati-hati agar tidak membebani ekosistem digital, khususnya UMKM.

Dalam PMK No.37/2025 dijelaskan pedagang (merchant) dengan penghasilan bruto tahunan di bawah Rp500 juta dibebaskan dari pemungutan Pajak Penghasilan (PPh). Namun, untuk memperoleh pembebasan tersebut, mereka wajib menyerahkan surat pernyataan kepada pihak marketplace.

Sementara itu, merchant dengan penghasilan bruto tahunan antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar akan dikenakan tarif PPh sebesar 0,5%.

Budi menuturkan, meski marketplace tidak diwajibkan memverifikasi surat pernyataan omzet tersebut, mereka tetap harus menyediakan sistem yang memungkinkan seller mengunggah dokumen dan meneruskannya ke sistem DJP.

"Surat pernyataan itu wajib dicetak, ditandatangani, dan dibubuhi meterai. Proses ini memerlukan kesiapan sistem, edukasi, serta komunikasi yang jelas kepada para penjual," tegasnya. (Ins/E-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |