Tanpa MRI, Dokter Seperti Berjalan dalam Gelap

3 weeks ago 19
Tanpa MRI, Dokter Seperti Berjalan dalam Gelap Peran MRI(Dok. MI)

MAGNETIC Resonance Imaging (MRI) sudah lama menjadi standar emas di dunia medis modern. Alat ini memungkinkan dokter membaca tubuh manusia dengan detail yang mustahil dicapai metode lain. Dari stroke hingga kanker, dari jantung hingga saraf, MRI adalah penentu arah pengobatan.

Namun di Indonesia, teknologi ini masih dianggap barang mewah.

Di ruang gawat darurat, pasien stroke biasanya langsung menjalani CT scan. Bukan karena CT lebih unggul, tapi karena akses ke MRI terbatas. Padahal, MRI mampu menyingkap detail kerusakan otak yang tak terlihat di CT. Hasil akhirnya bisa membuat perbedaan: apakah pasien hanya mendapat perawatan konservatif, atau justru bisa diselamatkan dengan intervensi cepat.

“Dari awal, diagnosis yang akurat itu bisa menentukan arah penanganan, bahkan seberapa invasif tindakan yang perlu dilakukan,” jelas dr. Yonathan William, Sp.Rad, dari RS IMC Tangerang.

Di bidang onkologi, MRI mengubah praktik medis. Kanker prostat yang dulu hanya bisa ditangani dengan biopsi buta atau operasi besar, kini bisa dipetakan dengan presisi. Pemindaian MRI memandu jarum biopsi langsung ke titik mencurigakan. Hasilnya: pasien bisa mendapat terapi minimal invasif, bukan pembedahan penuh yang menyakitkan.

Cardiac MRI juga berperan besar dalam penyakit jantung. Pemeriksaan ini mampu membedakan apakah gejala pasien benar akibat perburukan jantung koroner atau kondisi lain. Konsekuensinya serius: pilihan terapi bisa berubah total hanya dari hasil satu pemeriksaan.

Masalah Klasik: Alat Sedikit, Pasien Berjubel

Mesin MRI di Indonesia jumlahnya timpang. Jakarta punya puluhan, tapi provinsi lain hanya segelintir. “Kalimantan Barat, populasinya lima juta, MRI cuma dua. Sumatera Barat, 5,5 juta orang, hanya ada empat. Jakarta dengan 10 juta penduduk, minimal ada 30,” papar dr. Yonathan.

Artinya, pasien di daerah harus rela menempuh perjalanan ratusan kilometer hanya untuk sebuah pemeriksaan. Bagi banyak orang, waktu dan biaya itu setara dengan menunda diagnosis, atau kehilangan kesempatan hidup.

Hambatan Global: Dari Helium hingga Radiografer

Keterbatasan bukan hanya soal alat. Ada empat penghalang besar:

  • Kelangkaan helium, gas penting untuk mesin MRI.
  • Desain ruangan, banyak rumah sakit tak siap secara infrastruktur.
  • Listrik, kebutuhan daya tinggi sulit dipenuhi di luar kota besar.
  • SDM, jumlah radiografer dan teknologis MRI masih jauh dari cukup.

Bagi ahli saraf, waktu adalah otak. Dr. Fritz Sumantri Usman, Sp.N, menegaskan, “MRI yang cepat sangat kita butuhkan, untuk menentukan inti kerusakan otak dan penumbuhannya di mana.”

MRI bisa membedakan apakah infark otak pasien bersifat akut, subakut, atau kronis. Informasi ini jadi kunci: apakah dokter bisa memberi trombolisis, intervensi, atau hanya terapi suportif.

“Banyak pasien usia 35 tahun ke atas punya infark lama yang tidak terdeteksi. Dengan MRI, kita bisa pisahkan mana kerusakan lama, mana yang baru. Itu sangat menentukan arah terapi,” tambahnya. (Z-10)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |