Pukat UGM: Indeks Integritas Pendidikan Rendah, Pemerintah Harus Perkuat Sistem Pengawasan

3 hours ago 1
 Indeks Integritas Pendidikan Rendah, Pemerintah Harus Perkuat Sistem Pengawasan Ilustrasi: wali siswa calon peserta didik baru mengajukan pembuatan akun Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB)(ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)

PENELITI Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, mengatakan bahwa menurunnya skor indeks Survei Penilaian Integritas (SPI) pendidikan tahun 2024 sebesar 69,50 persen menjadi tanda bahwa sistem tata kelola dan ekosistem pendidikan di Indonesia masih jauh dari nilai-nilai antikorupsi. 

“Tentu ini memprihatinkan karena seharusnya SPI pendidikan terus naik, agar kita bisa punya harapan terhadap perbaikan bangsa, dari sisi nilai integritas karena pendidikan itu menjadi moral kompas yang akan menentukan wajah dari masa depan karakter bangsa,” kata Zaenur kepada Media Indonesia pada Kamis (24/4).

Penurunan indeks SPI sebesar 4,20 persen dari tahun 2023 sebesar 73,7 persen, menjadi potret kejujuran tentang bagaimana pendidikan di Indonesia dikelolah. Menurut Zaenur, hal ini tentu menunjukkan kualitas sumber daya manusia bangsa Indonesia. 

“Kemajuan sebuah bangsa ditentukan oleh kualitas pendidikannya. Kalau skor SPI pendidikan 2024 turun, ini artinya harapan untuk punya bangsa yang semakin berintegritas dan bersih itu menjadi jauh,” ujarnya. 

Zaenur menjelaskan penurunan skor paling signifikan berada pada elemen ekosistem pendidikan. Menurutnya, ekosistem menjadi dasar nilai-nilai integritas bisa dijalankan atau tidak. 

“Bagaimana lingkungan yang ada di pendidikan itu dapat mendukung nilai-nilai integritas jika ekosistemnya buruk dan mengalami penurunan cukup signifikan. Pengawasan harus menjadi kunci untuk peningkatan ekosistem pendidikan yang berintegritas,” imbuhnya. 

Menurut Zaenur, salah satu upaya yang harus dilakukan pemerintah untuk meningkatkan indeks integritas tersebut adalah dengan memperkuat sistem pengawasan internal dan eksternal.

“Pengawasan internal dengan membuat rencana pengawasan, kemudian juga sekolah harus membuat manajemen resiko di dalam pengelolaan pendidikan, khususnya yang terkait dengan penganggaran, juga terkait dengan akademik,” tukasnya.  

“Dan yang juga tidak kalah penting adalah dari sisi pengawasan eksternalnya ada komite sekolah dan masyarakat itu harus direvitalisasi agar bisa berperan sebagai pengawas eksternal,” sambung Zaenur. 

Zaenur menekankan pemerintah harus memiliki inspektorat khusus di bidang pendidikan dengan membuk mekanisme penyampaian pengaduan dugaan tindak pidana tertentu jika melibatkan pegawai dan orang lain di dalam satuan pendidikan. 

“Bisa dilakukan dengan membuat whistleblowing system ketika ada pelanggaran agar bisa dilaporkan. Ada pun ini juga terkait langsung dengan perbaikan tata kelola,” katanya. 

Lebih lanjut, Zaenur menilai satuan pendidikan akan sulit membekali siswa dan mahasiswa mengenai nilai-nilai integritas dan anti korupsi jika tata kelola tak berjalan dentan baik. 

“Betapa masih problematikanya tata kelola di bidang pendidikan untuk menciptakan nilai integritas. Berbusa-busa mengajarkan tentang nilai integritas, tetapi tata kelola di sekolah sendiri belum menunjukkan nilai integritas,” tegasnya. 
 
Zaenur juga menyoroti skro dari indeks SPI yang semakin rendah pada tataran perguruan tinggi. Menurutnya, hal itu mencerminkan paradoksal karena semakin tinggi jenjang pendidikan, sikap integritas seharusnya lebih mudah terbangun.  

“Dari SD agak sedikit lumayan, ke SMP turun, SMA turun, perguruan tinggi semakin turun. Ini paradoks juga karena seharusnya semakin tinggi tingkat satuan pendidikannya, tata kelolaannya semakin baik. Apalagi di perguruan tinggi, harusnya kesadaran siri sudah semakin terbentuk,” tandasnya. (Dev/M-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |