Proyek Beton Laut Cilincing Berisiko Rusak Ekologi dan Menghilangkan Ruang Tangkap

2 hours ago 2
Proyek Beton Laut Cilincing Berisiko Rusak Ekologi dan Menghilangkan Ruang Tangkap Pagar beton membentang di perairan Cilincing, Jakarta Utara, Minggu (14/9/2025).(MI/Usman Iskandar)

GURU Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) sekaligus Kepala Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB University Prof Yonvitner menilai pembangunan beton laut di kawasan Cilincing berpotensi menimbulkan risiko ekologis dan sosial ekonomi yang serius. 

Ia menegaskan bahwa ruang laut adalah area produktif yang tidak bisa dikelola hanya dengan pendekatan tata ruang, melainkan harus berbasis pada analisis risiko lingkungan yang komprehensif.

"Ruang laut adalah area produktif. Jika ada reklamasi atau pembangunan infrastruktur, area baru ini harus mampu memberikan kontribusi yang sebanding dengan hilangnya area penangkapan ikan maupun habitat perikanan," ujarnya. 

"Langkah ini penting sebagai mitigasi terhadap potensi hilangnya pendapatan nelayan," lanjut Prof Yonvitner.

MI/HO--Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) sekaligus Kepala Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB University Prof Yonvitner

Menurut dia, mekanisme Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) saat ini masih terbatas pada penyelarasan antara Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dengan rencana zonasi. 

Kajian ekosistem baru, umumnya dimasukkan ke dalam dokumen Analisis dampak lingkungan (Amdal). Namun, sebut Prof Yonvitner, fungsi Amdal belum cukup karena hanya memproyeksikan dampak tanpa menghitung risiko kerugian jangka panjang, terutama bagi nelayan.

"Selama ini, Amdal hanya berhenti pada perkiraan dampak, belum menyentuh aspek risiko kehilangan pendapatan atau kerugian sosial-ekonomi masyarakat pesisir. Padahal, itulah yang paling nyata dirasakan nelayan," tegasnya.

Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa pembangunan di pesisir tidak bisa dilihat secara lokal semata. Dampaknya bisa meluas ke kawasan lain, misalnya melalui pencemaran atau degradasi habitat. 

"Karena itu, pemanfaatan ruang laut seharusnya juga menyediakan bentuk kompensasi ekologi, tidak hanya ganti rugi ekonomi. Ini penting agar keseimbangan lingkungan tetap terjaga," tambahnya.

Prof Yonvitner berpandangan bahwa kelemahan terbesar dari izin investasi di laut selama ini adalah tidak adanya integrasi risiko lingkungan dalam perencanaan. Tanpa analisis risiko yang menyeluruh, investasi justru bisa menimbulkan kerusakan ekosistem laut yang pada akhirnya merugikan masyarakat.

"Ke depan, investasi di ruang laut harus dikoreksi dan diarahkan agar tidak hanya mengejar pembangunan fisik, tetapi juga menjamin keberlanjutan ekologi serta kesejahteraan nelayan," pesannya.

Dengan perspektif ini, Prof Yonvitner mendorong agar setiap pembangunan di wilayah laut dan pesisir benar-benar mengedepankan prinsip keberlanjutan. 

Lebih lagi, ke depan Indonesia akan menyiapkan pembangunan Great Giant Sea Wall (GGSW) sehingga pengendekatan pembangunan pesisir terpadu (integrated coastal management/ICM) yang berbasis risiko harus dijadikan kerangka dasar pembangunan pesisir, termasuk reklamasi.

"Dengan demikian, semua itu bukan hanya menjaga kelestarian ekosistem laut, tetapi juga melindungi mata pencaharian nelayan dan memastikan manfaat pembangunan dirasakan secara adil," pungkas Yonvitner. (Z-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |