
KETUA Umum Koordinator Nasional Ikatan Guru Sertifikasi Swasta (IGSS) PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru) Indonesia Eka Wahyuni mengatakan bahwa permasalahan guru tidak pernah kunjung usai. Menurutnya penataan status guru tidak akan terwujud karena sejauh ini pemerintah belum mempunyai format yang tepat untuk diterapkan.
“Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan anggota Komisi X DPR RI pada 6 Februari 2025, saya sebagai Ketua Umum Koordinator Nasional IGSS PLPG Indonesia bersama delegasi dari beberapa provinsi lainnya, menyampaikan aspirasi untuk memprioritaskan guru-guru senior swasta lulusan yang sudah tersertifikasi terlebih dahulu dan diakui profesionalismenya oleh pemerintah, agar menjadi ASN Guru sebagai PNS,” ungkapnya dilansir dari keterangan resmi, Selasa (25/2).
Eka menegaskan aspirasi ini bukan tanpa sebab. Guru-guru IGSS PLPG Indonesia yang mayoritas telah mengabdi sekurangnya 20 tahun bahkan lebih dari 35 tahun tersebut, terabaikan dan tersisihkan dedikasi dan pengalamannya sehingga terbatas peluangnya menjadi PNS/PPPM.
“Padahal sudah jelas dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) disebutkan bahwa guru mempunyai hak untuk memperoleh promosi dan penghargaan berdasarkan pengalamannya. UU ini tentu berlaku pula bagi guru di swasta, terlebih di bawah yayasan yang masih memberikan subsidi silang bagi siswa yatim piatu dan kurang mampu,” tegas Eka.
Menurutnya, akhir-akhir ini yang menjadi ASN Guru adalah guru-guru muda usia, minim pengalaman bahkan belum tersertifikasi.
Sebagai perwakilan anggota IGSS PLPG Indonesia, dia mempersoalkan tentang rekrutmen PPPK/CPNS yang masih menggunakan tes padahal pemerintah telah menyelenggarakan PLPG sejak 2008 dengan diberikannya Sertifikat Pendidik (Serdik) Guru Profesional melalui berbagai tes tulis dan praktik.
“Guru-guru senior swasta PLPG belum bisa menjadi ASN hanya karena kendala-kendala administratif yang tidak ada kaitannya dengan profesionalisme, sehingga tidak bisa mengikuti tes PPPK 2021, seperti verval ijazah dan NIK E-KTP yang tidak sesuai, formasi yang jauh dari domisili/tempat tinggal, tidak adanya izin dari yayasan untuk mengikuti tes, dan adanya pilihan khusus Pendidikan Profesi Guru (PPG Pra-Jabatan) dalam notifikasi pendaftaran PPPK. PPG Pra-Jabatan inilah yang memunculkan sensitifitas terhadap senioritas,” tuturnya.
Dia menjelaskan bahwa PPG Pra-Jabatan adalah sertifikasi bagi calon guru yang belum memiliki pengalaman di lapangan alias baru lulus perguruan tinggi tetapi dipersiapkan untuk seleksi ASN bahkan secara otomatis.
Ia menilai seharusnya program sertifikasi lebih ditujukan untuk menguji dan mengakui kompetensi guru yang sudah lama berkontribusi dalam dunia pendidikan sekurangnya 10 tahun, bukan kepada mereka yang baru lulus kuliah. Pengalaman mengajar adalah faktor amat penting yang harus dipertimbangkan dalam pemberian sertifikasi.
“Perlu diketahui bahwa PPG atau Pendidikan Profesi Guru adalah program sertifikasi pengganti dari PLPG, yang memiliki 2 program, yakni PPG Dalam Jabatan dan PPG Pra-Jabatan. Peserta PPG Dalam Jabatan adalah guru-guru yang sudah mengajar beberapa tahun sedangkan untuk menjadi peserta PPG Pra-Jabatan adalah calon guru, yang bisa diikuti mahasiswa dari berbagai jurusan, tidak dikhususkan untuk jurusan keguruan saja,” kata Eka.
Selain itu, PPG Pra-Jabatan membutuhkan anggaran negara yang besar, di mana pemerintah harus menyiapkan beasiswa sebesar Rp17 juta per mahasiswa artinya kurang lebih Rp500 miliar untuk sekitar 30 ribu peserta setiap tahunnya. Jika dikaitkan dengan upaya pemerintah untuk efisiensi anggaran negara, maka efisiensi anggaran negara sangat tepat diterapkan untuk PPG Pra-Jabatan.
Maka, tidak berlebihan jika pemerintah mulai saat ini mengalihkan anggaran tersebut untuk jaminan kesejahteraan sosial bagi guru swasta lulusan PLPG saat pensiunnya nanti sebesar 50% dari tunjangan profesinya.
“Kebutuhan akan guru-guru yang tersertifikasi dalam waktu 2 – 4 tahun ke depan sudah dan akan terus terpenuhi melalui PPG Dalam Jabatan terlebih program ini akan terus berlangsung setiap tahunnya,” jelasnya.
PPG Pra-Jabatan juga dikatakan semakin mempersempit peluang guru senior swasta PLPG menjadi ASN, sehingga semakin menambah kesemrawutan penataan status guru. Masih banyak guru senior PLPG sebagai yang lebih dahulu tersertifikasi belum jelas kepastian statusnya sebagai ASN.
“Seharusnya pemerintah mengangkat mereka terlebih dahulu sebagai PNS untuk menghargai dedikasi dan pengalamannya,” ujar Eka.
Secara garis besar, dia menilai bahwa PPG Pra-Jabatan tidak tepat untuk dilanjutkan. Itulah regulasi pemerintah yang selama ini tidak memenuhi rasa keadilan. Saat RDPU tersebut, dia pun mempertanyakan, untuk apa pemerintah mengadakan PLPG sebagai pelatihan profesi guru 10 tahun pertama sejak 2008 - 2017, tetapi ternyata yang menjadi ASN Guru adalah guru muda usia minim pengalaman belum tersertifikasi.
(H-3)