
POLEMIK mengenai status mitra dan tuntutan pemberian tunjangan hari raya (THR) kepada aplikator menjadi sorotan. Seiring dengan berkembangnya ekonomi digital, muncul perdebatan mengenai tentang mitra pengemudi diklasifikasikan sebagai pekerja tetap atau masih tetap dalam hubungan kemitraan sebagaimana yang berlaku saat ini.
Belajar dari kasus di Inggris, ketika Uber diwajibkan membayar tunjangan tambahan bagi mitranya, harga layanan naik sebesar 10%-20%. Dampak lanjutannya yaitu penurunan permintaan hingga 15%, sehingga merugikan pengemudi dan perusahaan. Jika kebijakan serupa diterapkan di Indonesia, ada potensi efek domino yang dapat menekan industri ini secara keseluruhan.
Kemudian, di New York, penerapan regulasi upah minimum bagi pekerja gig menyebabkan biaya operasional meningkat hingga 15%. Ini membuat platform menaikkan komisi dan mengurangi jumlah insentif bagi mitra pengemudi. Beberapa pengemudi mengalami penurunan pendapatan bersih akibat lonjakan biaya layanan.
Tuntutan THR bagi mitra pengemudi platform digital di Indonesia menimbulkan polemik di kalangan industri dan akademisi. Direktur Eksekutif Modantara, Agung Yudha, menyoroti bahwa industri on-demand telah berupaya menjaga kesejahteraan mitra melalui berbagai program seperti bantuan modal usaha dan beasiswa.
Ekonom Wijayanto Samirin menekankan bahwa mitra pengemudi tidak memenuhi unsur hubungan kerja berdasarkan regulasi ketenagakerjaan yang berlaku, sehingga THR tidak bisa dipaksakan tanpa implikasi hukum. "Status mitra pengemudi bervariasi. Sebagian menjadikannya pekerjaan utama, sementara lainnya sebagai pekerjaan sampingan," urainya.
Oleh karena itu, solusi yang diterapkan harus mempertimbangkan kebutuhan yang beragam. Ia juga mengingatkan bahwa fleksibilitas merupakan daya tarik utama pekerjaan ini. Jika mitra diperlakukan seperti pekerja konvensional, mereka berisiko kehilangan fleksibilitas tersebut atau bahkan jutaan mitra dapat kehilangan pekerjaan. (MTVN/I-2)