Pertama di Indonesia, Pemusnahan Sampah dengan Thermal Decomposer System

18 hours ago 5
Pertama di Indonesia, Pemusnahan Sampah dengan Thermal Decomposer System (MI/AGUS UTANTORO)

DITEMPATKAN pada sebuah bangunan yang relatif tidak luas yang terbagi dalam beberapa ruang. Penimbunan sampah, kolam penampungan air dan penangkap asap cair, instalasi untuk peralatan thermal decomposer serta cerobong asap. Lokasi ini berada di bagian pinggir barat Pasar Telogorejo yang berada di kawasan yang tidak jauh dari pemukiman penduduk.

Peralatan yang dibangun oleh PT Bumi Indah Berseri ini yang dioperasikan oleh Badan Usaha Kalurahan (BUMKal) Banyuraden, Kapanewin, Gamping, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Di tempat ini pula, setiap hari mampu 'memusnahkan' sampah hingga 2 ton. Kapasitas ini, relatif kecil. PT Bumi Indah Berseri bahkan menyatakan mampu membangun untuik kapasitas yang lebih besar, 5 ton, 10 ton atau yang lebih besar lagi.

Lurah Banyuraden, Sudarisman mengaku sebelum menjalin kerjasama dengan PT Bumi Indah Berseri telah melakukan penjajakan dan mempelajari berbagai sistem pemusnahan sampah. Mulai dari kapasitas, biaya operasional dan tingkat kepemusnahan sampah itu sendiri. "Akhirnya kami memilih yang ditawarkan PT Bumi Indah Berseri," kata Sudarisman.

Menurut dia, kapasitas peralatan yang dipasang sekarang ini memang berkapasitas 2 ton per hari. Namun ke depan, jelasnya akan diperbesar atau pilihan lain akan dibangun di sejumlah titik. Menurut dia salah satunya karena tidak memerlukan tempat yang luas, pengoperasian yang mudah dan tidak menimbulkan bau saat terjadi pembakaran sampah.

Peralatan atau sistem yang baru pertama di Indonesia ini, kata Direktur Utama PT Bumi Indah Berseri (BIB), Ratna D. Hapsari hari Minggu menjelaskan, perusahaannya selama ini memang bergerak dalam bidang usaha pemusnahan sampah tanpa asap, ramah lingkungan dan pengoperasian yang mudah dan cepat.

Ratna D Hapsari menjelaskan, sistem yang dikembangkan untuk pemusnahan sampah adalah Thermal Decomposer. Sistem ini diakui lebih baik dibandingkan dengan pemusnahan dengan menggunakan incenerator. "Pemusnahan sampah yang kami kembangkan dan kami namakan Thermal Decomposer ini dilakukan secara thermal dengan pemberntukan bara dari sampah itu sendiri, tanpa api, tanpa bbm, tanpa chip kayu, sampah dengan cepat terbakar sempurna menjadi abu, dimana abu ini dapat digunakan sebagai bahan campuran pupuk," katanya.

Untuk memulai, sistem ini hanya memerlukan waktu penyiapan maksimal 10 menit. Ini waktu untuk mencapai kestabilan pembakaran sampah," katanya. Karena itu berbeda dengan incenerator yang membutuhkan waktu beberapa jam agar api pembakaran sampah berjalan stabil dan dipastikan pada saat tersebut akan timbul asap pekat dan sangat banyak.

Sesuai ukuran peralatan, sampah secara bertahap dimasukkan ke dalam peralatan dan pembakaran menggunakan suhu maksimum 150 derajat Celsius. Dengan suhu ini, kata Ratna, tidak akan terbentuk dioxin dan furan yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Kedua zat tersebut bisa memicu tumbuhnya kanker, menyebabkan kemandulan dan bahkan menyebabkan bayi lahir cacat. Dioxin dan furan, imbuhnya secara alami akan muncul pada pembakaran pada suhu 200 derajat Celsius atau yang lebih panas lagi. Padahal setiap incenerator dipastikan membakar sampah dengan suhu minimal 800 derajat Celsius.

Apakah tidak memunculkan asap? Ratna D Hapsari mengungkapkan, asap beserta materi polutan yang timbul dari proses pemusnahan, ditangkap oleh peralatan yang disebut smover. Asap yang muncul oleh smover diubah menjadi asap cair.

"Polutan yang ditangkap dengan smover berupa padatan dan dapat di proses lebih lanjut menjadi briket arang. Sedangkan semua incinerator Polutan-polutan asap ini akan langsung dihirup oleh manusia dan hewan sehingga tidak hanya menganggu kesehatan manusia tapi juga kesehatan hewan," ujarnya.

Dikatakannya, asap yang kemudian dibuang ke udara melalui cerobong, sebenarnya bukan asap pembakaran tetapi berupa steam atau uap air yang bersih dan tidak terlalu panas, sehingga akan mengurangi efek rumah kaca.

Sudarisman menambahkan, lagi dalam proses pemusnahan sampah ini petugas tidak terlalu dibebani dengan pemilahan. Karena, imbuhnya semua secara umum semua jenis sampah termasuk sampah basah dengan tingkat kebasahan hingga 80 persen termasuk pampers dapat terbakar sempurna. "Berbeda dengan yang kami simak pada incenerator yang hanya mampu membakar sampah yang memiliki tingkat kebasahan hingga 30 persen. Jika tingkat kebasahan lebih dari 30 persen pasti akan terbentuk asap tebal bahkan mesin akan mati," katanya.

Jika Incenerator mengklaim mampu membakar sampah tanpa asap, maka wajib membuktikan dan menunjukan polutan yang ditangkap dari asap, sehingga betul-betul hanya steam  atau uap air yang keluar melalui cerobong.

"Sistem Thermal Dekomposer tidak perlu ribet memilah sampah organik dan an organik seperti plastik, misalnya karena sampah plastik akan terbakar menjadi angin," imbuh Ratna.

Ratna mengungkapkan pula, selain menghasilkan briket yang dapat digunakan untuk proses pembakaran, air sirkulasi asap cair dalam waktu seminggu akan berubah menadi surfaktan. Surfaktan ini sendiri, jelasnya, menjadi bahan penting pada industri deterjen, pembersih, pelarut kotoran dan sebagainya. Bahkan, imbuhnya, surfaktan juga berfungsi untuk pengusir hama tanaman.

PT Bumi Indah Berseri, ujarnya sedang melakukan riset mendalam terkait dengan surfaktan yang ditimbulkan agar ke depan dapat memberikan nilai ekonomi yang lebih tinggi lagi.

Tak sampai di situ, Ratna D Hapsari menjelaskan lagi, sedang dalam tahap riset sistem Thermal Decomposer ini dikembangkan untuk menjadi PLTSa -- Pembangkit Listrik Tenaga Sampah -- yang berarti akan memberikan nilai tambah bagi sistem yang diciptakan ini.

Ia memastkan tidak akan terjadi seperti pada PLTSa Incenerasi membutuhkan sampah yang sangat banyak untuk dijadikan energi listrik artinya penumpukan sampah bisa menimbulkan masalah aroma busuk dan PLTSa Incenerasi membutuhkan turbin untuk menjadikan energi listrik, sehingga sehingga membutuhkan investasi sangat besar.

Hasil uji yang telah dijalankan pada PLTSa yang akan dikaitkan dengan sistem Thermal Decomposer ini memiliki harga per KWH yang lebih rendah dibandingkan listrik produksi PLN.

Apakah hasil TPSa sampah saat ini sudah melalui kajian AMDAL? PLTsa yang dikembangkan dengan sistem Thermal, katanya menggunakan chip elektro thermal memerlukan suhu sekitar 100 derajat Celsius yang berarti tidak butuh suhu tinggi, aman bagi kesehatan, tidak membutuhkan sampah yang sangat banyak untuk mengubah sampai menjadi listrik, cukup sampah sesuai kemampuan pembakaran sampah/hari dari sistem thermal decomposer sampah 2 ton/hari bisa menjadi listrik,tidak memerlukan turbin untuk menghasilkan listrik, biaya jauh lebih murah dan KWH yang dihasilkan jauh lebih besar.

"PLTSa dengan chip elektro thermal akan segera diluncurkan setelah tim R&D kami menyempurnakan penelitiannya," katanya.
Ratna D Hapsari berharap ke depan akan lebih banyak lagi masyarakat yang memanfaatkan teknologi penanganan sampah yang dikembangkan ini. "Kami siap bersinergi dengan berbagai kalangan, bahkan dengan desa atau kalurahan dengan model bagi hasil," katanya. Namun, Ratna masih enggan menyebutkan model bagi hasil maupun modal yang harus disiapkan.

"Target pemusnahan sampah di Kelurahan atau Kecamatan (TPS) dan tidak menutup kemungkinan pemusnahan sampah yang volumenya lebih besar di TPA atau tempat pembuangan akhir," ujarnya.

Ia juga memastikan hasil Uji Emisi gas buang dilakukan oleh laboratorium yang tersertifikasi KAN, menunjukan Sox, NOx dan lainnya jauh dibawah ambang batas. "Artinya aman bagi kesehatan," ujarnya. (H-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |