
POIN yang dibawa pemerintah Indonesia untuk negosiasi dengan Amerika Serikat dinilai sebagai hal krusial yang perlu ditawarkan. Apa yang ditawarkan juga dinilai sejalan dengan upaya pemerintah untuk mendorong daya saing dan kesempatan bagi dunia usaha.
"Artinya ini jangan dianggap sebagai tekanan dari AS, tetapi momentum perbaikan. Tapi untuk itu kita tidak bisa hanya memberikan relaksasi kebijakan-kebijakan hanya kepada AS," ujar Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Yose Rizal Damuri saat dihubungi, Kamis (24/4).
"Ini harus dilakukan secara MFN (most favoured nation) basis dengan filosofi memperbaiki iklim investasi dan bisnis," tambahnya.
Selain itu, Indonesia juga tidak perlu menjanjikan impor berlebihan dari AS. Menurut Yose, ada sejumlah alasan yang mestinya mendasari agar pemerintah tak terlalu memberikan janji berlebih perihal impor dari AS.
Pertama, kemungkinan produk-produk AS bukan yang paling murah dan paling sesuai dengan kebutuhan Indonesia. Kedua, janji impor berlebih dari AS mendorong munculnua kemungkinan menimbulkan reaksi dari mitra dagang Indonesia yang lain karena merasa dirugikan, seperti yang diumumkan oleh Tiongkok beberapa hari lalu.
Kemungkinan lainnya ialah hal itu hanya akan menjadi perubahan pemegang lisensi impor baru dari yang sebelumnya. "Terbuka kemungkinan praktik KKN dalam penunjukan importir baru dari AS tersebut, yang akhirnya menegasikan upaya reform yang akan dilakukan," pungkas Yose. (Mir/M-3)