Ilustrasi(Dok Ist)
DEPUTI Bidang Koordinasi Pelayanan Haji Kemenhaj Puji Raharjo menuturkan, pandangan Prof. Ahmad Tholabi Kharlie sangat berharga karena mengingatkan agar kebijakan reformasi kuota haji tidak keluar dari asas keadilan dan norma hukum yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025. Namun, justru dalam kerangka asas tersebut—keadilan, proporsionalitas, transparansi, dan kepastian hukum—pendekatan berbasis waiting list adalah opsi yang paling adil dan konsisten dengan prinsip FIFO (First In, First Out) yang menjadi roh sistem antrean haji nasional.
"Menyeragamkan masa tunggu tanpa mempertimbangkan antrean faktual memang berisiko menyalahi keadilan prosedural. Tetapi menjadikan jumlah waiting list sebagai basis utama pembagian kuota bukanlah penyamarataan masa tunggu secara paksa, melainkan upaya mengoreksi ketimpangan yang ekstrem akibat distribusi kuota yang selama ini tidak mengikuti realitas antrean di tiap provinsi," kata Puji.
Menurut Puji, dengan sistem waiting list–based quota, prinsip FIFO justru ditegakkan secara nasional: siapa yang mendaftar lebih dahulu, di provinsi mana pun, mendapat peluang keberangkatan yang lebih proporsional sesuai panjang antrean. Ini memperkuat rasa keadilan substantif sekaligus menjaga integritas sistem antrean.
"Artinya, opsi waiting list bukan menabrak asas keadilan prosedural, melainkan memulihkannya agar tidak hanya berlaku dalam satu provinsi, tetapi dalam skala nasional," ujarnya.
Dengan demikian, kebijakan ini tetap berpegang pada norma hukum, memberi kepastian bagi jemaah, dan mewujudkan proporsionalitas yang selama ini menjadi amanat undang-undang. (H-2)


















































