
KETUA Badan Pekerja Centra Initiative, Al Araf menilai agenda reformasi TNI yang digagas pasca-Reformasi 1998 mengalami kemunduran signifikan. Kemunduran itu mulai tampak sejak era Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang kini semakin menguat di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
“Secara empiris, kalau kita perhatikan, rezim pemerintahan Jokowi disebut sebagai rezim yang membangun kemunduran bagi reformasi TNI dan memberikan ruang buat militer masuk ke wilayah-wilayah nonpertahanan terlalu jauh,” ujar Al Araf dalam peluncuran Jurnal Prisma edisi khusus bersama LAB 45 bertajuk Hubungan Sipil-Militer di Tengah Krisis Demokrasi, Selasa (16/9).
Menurut disa, sejak era Jokowi, TNI mulai terlibat dalam berbagai agenda yang sebenarnya bukan bagian dari fungsi pertahanan, seperti program cetak sawah, ketahanan pangan, proyek strategis nasional, hingga penanganan aksi massa dan isu perburuhan.
“Bahwa fungsi utama militer adalah sebagai fungsi pertahanan. Jadi, ketika dia keluar jauh dari fungsi itu, mengurusi program cetak sawah, ketahanan pangan, lalu kemudian proyek strategis nasional, terlibat dalam mengatasi aksi massa, menangani persoalan isu buruh, dan lain sebagainya,” tukasnya.
Al Araf menyebut langkah ini serupa dengan praktik dwifungsi ABRI di masa Orde Baru, di mana militer keluar dari fungsi pertahanan dan masuk ke ranah sosial-politik.
“Hal itu bisa saya katakan bahwa, ya itulah dwifungsi. Dia keluar jauh dari fungsi pertahanan dan masuk ke fungsi-fungsi sosial politik lainnya,” jelasnya.
Selain itu, Al Araf juga menyamakan kondisi yang terjadi saat ini dengan praktik dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru. Menurutnya, kebijakan di era Jokowi telah membuka ‘kotak pandora’ yang di periode pemerintahan sekarang justru semakin dilebarkan. “Yang dibuka oleh Jokowi itu kotak Pandora, dan di era sekarang justru dilebarkan lebih luas,” katanya.
Lebih jauh, ia memetakan setidaknya enam bentuk rekonsolidasi militer yang kini berjalan yakni rekonsolidasi regulasi melalui revisi UU TNI agar memudahkan militer masuk ke ruang nonpertahanan dan rekonsolidasi struktur dengan pembangunan batalion teritorial dan tempur di berbagai daerah.
“Selanjutnya rekonsolidasi peran, lewat pelibatan TNI dalam program nonperang, termasuk ketahanan pangan. Dan rekonsolidasi ekonomi yang membuka kembali peluang bisnis militer dalam format baru,” jelasnya.
Kemudian, ada pula rekonsolidasi publik dengan menjadikan militer variabel penting dalam politik dan ruang publik dan rekonsolidasi politik melalui penempatan personel TNI di jabatan sipil, termasuk kementerian dan lembaga negara.
“Enam langkah rekonsolidasi militer itu tidak lain dan tidak bukan terjadi dan berjalan hari ini untuk menopang rezim pemerintahan yang ada, dan untuk melanjutkan rezim pemerintahan yang ada,” tegasnya.
Al Araf menekankan bahwa idealnya hubungan sipil-militer diarahkan pada objective civilian control, yakni ketika sipil mengendalikan militer demi membangun profesionalisme pertahanan. Namun yang terjadi saat ini justru sebaliknya. “Yang berjalan saat ini adalah subjective civilian control, di mana militer dipolitisasi untuk kepentingan rezim,” pungkasnya. (Dev/P-2)