
PENGAMAT pertahanan dan keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISSES) Khairul Fahmi menilai rekomendasi Komnas HAM kepada TNI untuk menutup permanen lokasi pemusnahan amunisi tidak layak pakai di Desa Sagara, Garut, Jawa Barat menjadi langkah penting untuk memastikan kondisi keamanan masyarakat setempat aman.
“Ini merupakan langkah penting dalam konteks perlindungan hak atas rasa aman dan lingkungan hidup yang layak. Namun demikian, pendekatan semata-mata berbasis relokasi, jelas belum menjawab kompleksitas persoalan secara utuh,” jelasnya kepada Media Indonesia pada Minggu (25/5).
Selain itu, temuan Komnas HAM terkait adanya keterlibatan 21 orang termasuk warga sipil untuk aktivitas yang seharusnya dikendalikan secara ketat oleh personel profesional, menimbulkan pertanyaan serius terkait standar operasional.
“Tetapi pada saat yang sama, hal ini juga menunjukkan keterbatasan kapasitas dan ekosistem pendukung yang dihadapi TNI di lapangan,” tukas Fahmi.
Menurut Fahmi, relokasi memang dapat mereduksi risiko langsung terhadap warga, tetapi pada saat yang sama, TNI jelas dihadapkan pada tantangan nyata terkait keterbatasan ruang.
“Lahan yang benar-benar aman, steril dari aktivitas sipil, dan jauh dari pemukiman semakin sulit ditemukan, terutama di wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi,” ujarnya.
Hal ini, lanjut Fahmi merupakan cerminan dari persoalan tata ruang nasional yang belum sepenuhnya mengakomodasi kebutuhan pertahanan secara terintegrasi, termasuk absennya pengaturan khusus terkait zona-zona pertahanan di banyak wilayah.
Fahmi menekankan bahwa dalam konteks tata ruang nasional, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa pembangunan zona pertahanan sebagai bagian terintegrasi dari perencanaan wilayah.
“Zona pertahanan ini penting demi menjamin adanya ruang aman yang memadai untuk kegiatan-kegiatan strategis seperti pemusnahan amunisi, penyimpanan bahan berbahaya, dan aktivitas militer lainnya yang memiliki risiko tinggi,” imbuhnya.
Di samping itu, integrasi zona pertahanan dalam tata ruang juga membantu menghindari benturan kepentingan antara kebutuhan sipil dan militer, sekaligus melindungi hak warga akan lingkungan yang aman dan layak huni.
Adopsi teknologi
Fahmi juga menyoroti pelibatan warga sipil dalam proses pemusnahan, yang semestinya diminimalkan bahkan dihindari. Menurutnya, kegiatan dengan risiko tinggi seharusnya menjadi domain eksklusif militer profesional.
“Kecuali jika pelibatan sipil dilakukan atas dasar kompetensi yang terverifikasi dan pengawasan yang ketat. Ketika praktik-praktik seperti ini terus terjadi, itu menunjukkan perlunya pembenahan sistemik dalam prosedur dan akuntabilitas operasional,” jelasnya.
Alih-alih menggunakan tenaga sipil, negara didorong untuk mengadopsi metode pemusnahan yang lebih presisi, adaptif, tertutup dan ramah lingkungan melalui inovasi teknologi. Hal ini juga akan menurunkan risiko keselamatan dan mengurangi ketergantungan pada pendekatan konvensional yang rawan gesekan sosial.
“Solusi berbasis teknologi juga membuka peluang untuk mengurangi ketergantungan pada ruang terbuka luas dan interaksi dengan lingkungan permukiman,” kata Fahmi.
Dalam hal ini, Komnas HAM memegang peran penting bukan hanya sebagai pengungkap dan pengingat atas pelanggaran atau kelalaian yang terjadi, tetapi juga sebagai penggerak perubahan kebijakan publik yang lebih progresif. Seperti halnya KPK yang dahulu mendorong reformasi birokrasi sebagai bagian dari strategi pencegahan korupsi,
Lebih lanjut, Fahmi menilai Komnas HAM harus bisa mengambil peran strategis dalam mendorong tata kelola pertahanan yang lebih akuntabel, kolaboratif dan berperspektif HAM dengan memperluas cakupan rekomendasinya.
“Tidak hanya bersifat remedial, tetapi juga progresif dan transformatif, menyentuh aspek kolaborasi lintas sektor, inovasi teknologi, serta integrasi tata ruang dengan kebutuhan pertahanan akan jauh lebih relevan dengan mandat perlindungan HAM, khususnya terkait hak hidup, rasa aman, dan lingkungan yang layak bagi warga,” tukasnya. (P-4)