
PRAKTIK mafia peradilan dengan melibatkan kuasa hukum yang terus terjadi di Indonesia menunjukkan lemahnya penegakan kode etik advokat selama ini. Setidaknya, penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM-Pidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) sudah menjerat tiga advokat dari dua kasus suap pengurusan perkara di pengadilan.
Denny Indrayana mengatakan, advokat memainkan peran penting sebagai penghubung dalam pengurusan perkara antara klien dan penegak hukum, baik polisi selaku penyidik, jaksa selaku penuntut umum, maupun hakim di pengadilan. Denny merupakan pakar hukum tata negara sekaligus advokat.
"Jadi yang memuluskan praktik-praktik mafia peradilan ini adalah advokat," terangnya kepada Media Indonesia, Jumat (18/4).
Sebagai advokat yang berpraktik di Australia, Denny menyoroti proses penegakan kode etik advokat di Indonesia. Ia menilai, proses penegakan kode etik advokat di Indonesia cenderung lemah, mengingat banyaknya organisasi profesi advokat.
"Kalau dipecat dari organisasi yang satu, bisa pindah ke organisasi advokat yang lain," ujarnya.
Sementara, penegakan kode etik advokat di Australia sangat ketat. Selain harus membayar iuran dan asuransi tiap tahun, advokat juga harus memperbaiki kapasitas keilmuannya. Selain itu, organisasi advokatnya juga sangat menajga integritas anggotanya.
"Di Australia (kalau terjerat kasus korupsi) yang pasti juga ada ancaman pidana berat, udah enggak mungkin jadi advokat seumur hidup," jelas Denny.
Lebih lanjut, Denny menggarisbawahi bahwa perlu ada upaya secara komprehensif untuk membersihkan praktik mafia peradilan. Sebab, kejahatan itu melibatkan banyak elemen dalam sistem peradilan di Indonesia.
Pembersihan itu, sambungnya, dilakukan secara internal kelembagaan maupun eksternal dengan melibatkan penegak hukum. (Tri/M-3)