
AKSES pembiayaan perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dinilai masih terhambat oleh sistem penilaian riwayat kredit melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK). Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) pun terus berupaya agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperjelas ketentuan kredit bagi calon pembeli rumah yang memiliki riwayat kredit bermasalah.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra), Ari Tri Priyono, menyebut banyak pengembang menghadapi tantangan karena bank enggan memproses pengajuan kredit calon konsumen yang nilai SLIK-nya rendah. Padahal, menurut regulasi OJK, tidak ada larangan eksplisit untuk memberikan pembiayaan kepada debitur dengan kualitas kredit non-lancar.
“Ini jadi realita di lapangan yang dirasakan langsung para pengembang. Kami berharap ada solusi konkret atas persoalan ini,” ujar Ari saat Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Himperra 2025, kemarin.
Ari juga memberikan apresiasi terhadap rencana Kementerian PKP yang akan menaikkan batas maksimal pendapatan MBR menjadi Rp12 juta bagi individu lajang dan Rp14 juta untuk yang sudah menikah.
“Dengan begitu, jangkauan MBR yang bisa mengakses rumah subsidi semakin luas, dari penghasilan Rp3 juta hingga Rp14 juta. Ini langkah yang sangat positif,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa kebijakan ini tidak boleh disalahpahami. “Jangan sampai muncul anggapan seperti yang beredar di TikTok bahwa hanya yang bergaji Rp14 juta yang bisa beli rumah subsidi,” tambahnya.
Menanggapi kebijakan tersebut, Himperra juga mengusulkan skema pembiayaan baru bagi segmen penghasilan menengah, yakni Rp8 juta hingga Rp14 juta.
“Dengan skema ini, kelompok masyarakat yang ingin membeli rumah di kisaran harga Rp185 juta sampai Rp400 juta bisa memperoleh insentif bunga ringan, sekitar 2–3 persen di atas bunga KPR subsidi. Kami yakin pasar ini potensial,” jelas Ari.
Ia juga optimistis kalangan milenial akan tertarik karena skema ini memungkinkan cicilan yang ringan, bersifat tetap (flat), dan akses terhadap rumah komersial dengan kualitas lokasi, desain, dan lingkungan yang lebih baik dibandingkan rumah FLPP.
Di sisi lain, Himperra juga menegaskan dukungannya terhadap himbauan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pembangunan rumah subsidi. Untuk mendukung hal itu, Himperra membentuk “Sekolah Himperra” guna melatih para anggotanya agar mampu membangun rumah MBR yang lebih baik secara mutu dan kapasitas.
“DPP Himperra juga menunjuk bidang khusus yang menangani Penjaminan Mutu dan Kualitas Pembangunan Rumah. Ini sebagai bentuk dukungan nyata terhadap program pembangunan 3 juta rumah yang diusung Presiden Prabowo,” tutur Ari.
Sementara itu, Komisioner BP Tapera Heru Pudyo Nugroho menambahkan bahwa pemerintah akan memperluas cakupan penerima subsidi hingga penghasilan Rp14 juta, serta menggandakan kuota Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) menjadi 440 ribu unit di tahun 2025.
“Selain itu, akan ada penyediaan pembiayaan rumah komersial (harga hingga Rp400 juta) sebanyak 100 ribu unit melalui mekanisme pasar,” ujar Heru.
Untuk mendukung program 3 juta rumah, pemerintah bersama Bank Indonesia menyiapkan likuiditas dengan total kebutuhan pendanaan mencapai Rp56,6 triliun. Dana tersebut terdiri dari Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM) sebesar Rp1,8 triliun, FLPP sebesar Rp47 triliun, dan dukungan dari SMF sebesar Rp7,9 triliun.
Direktur Consumer BTN, Hirwandi Gafar, menyambut baik peningkatan kuota FLPP ini. Ia mengingatkan para pengembang agar tidak hanya fokus pada kuantitas, tapi juga terus memperbaiki kualitas fisik bangunan dan lingkungan.
“Kami dari BTN menyambut baik langkah ini. Tapi pengembang juga harus menjaga mutu. Jangan sampai jumlah rumah bertambah, tapi kualitasnya menurun,” tutup Hirwandi. (Z-10)