
MENDEKATI arus mudik Lebaran 2025, ancaman mogok dari Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (APTRINDO) mengancam kelancaran distribusi logistik nasional. Penyebabnya ialah kebijakan pembatasan operasional truk selama 16 hari yang dianggap merugikan pengusaha dan sopir truk.
Jika benar-benar terjadi, aksi itu dapat berdampak luas, mulai dari keterlambatan distribusi barang hingga lonjakan harga kebutuhan pokok.
Ancaman mogok tersebut bukan tanpa alasan. Selain keberatan dengan durasi pembatasan yang lebih lama dibanding tahun-tahun sebelumnya, kesejahteraan sopir truk juga semakin terpinggirkan. Jangankan mendapat tunjangan hari raya (THR), untuk bekerja mencari nafkah bagi keluarga pun kini menjadi tantangan berat akibat aturan pembatasan operasional truk.
"Keputusan pembatasan ini mestinya mempertimbangkan kesejahteraan sopir truk. Jangan sampai mereka dilarang bekerja dalam waktu lama tanpa ada kompensasi. Harus ada solusi agar kesejahteraan mereka terjamin, misalnya dengan memastikan pemberian THR atau mengurangi masa pembatasan operasional truk," ujar Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata Djoko Setijowarno, Minggu (16/3).
Dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) yang diterbitkan pemerintah, pembatasan operasional truk akan berlaku mulai 24 Maret hingga 8 April 2025 di jalan tol dan nontol. Keputusan ini diambil untuk mengurangi kepadatan lalu lintas selama mudik.
Namun, APTRINDO menilai kebijakan ini terlalu lama dan dapat melumpuhkan sektor logistik. Mereka meminta pemerintah mengurangi durasi pembatasan maksimal menjadi 10 hari dan memberikan pengumuman minimal satu bulan sebelumnya agar pengusaha truk bisa mengatur jadwal operasional mereka.
Djoko menegaskan bahwa pembatasan truk seharusnya dibarengi dengan peningkatan layanan angkutan umum agar masyarakat tidak terlalu bergantung pada kendaraan pribadi. "Jika transportasi umum sudah baik, pembatasan operasional truk tidak perlu selama ini. Pemerintah harus mulai membangun sistem transportasi alternatif seperti kereta barang dan angkutan laut agar distribusi logistik tidak hanya bergantung pada jalan raya," terangnya yang juga Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat itu.
Selain itu, Djoko juga menyoroti rendahnya perhatian terhadap kesejahteraan sopir truk. Menurutnya, pendapatan sopir truk saat ini sangat minim dan tidak sebanding dengan beban kerja mereka. "Penghasilan sopir truk rata-rata hanya Rp1 juta hingga Rp4 juta per bulan, masih di bawah upah minimum daerah. Bahkan banyak dari mereka yang tidak memiliki SIM yang sesuai dengan jenis kendaraan yang dikemudikan karena kurangnya pendidikan dan pelatihan," ungkapnya.
Persaingan tarif yang ketat juga membuat kondisi ekonomi sopir truk semakin terjepit. Dahulu, sopir masih bisa membayar kenek atau bahkan memiliki kehidupan yang lebih layak. Kini, jangankan membayar kenek, untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari saja sulit.
"Sopir truk adalah tulang punggung distribusi logistik nasional, tetapi kesejahteraan mereka tidak pernah menjadi prioritas pemerintah. Jika mogok massal benar-benar terjadi, ini bisa menjadi pukulan besar bagi perekonomian," kata Djoko. (H-4)