
KETUA Umum (Ketum) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani menyoroti penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) tidak serta-merta membuat bunga pinman di perbankan langsung ikut turun.
Ia menyebut transmisi kebijakan moneter masih berjalan lambat. Ini karena perbankan cenderung berhati-hati dalam menyalurkan kredit dan mempertahankan tingkat bunga relatif tinggi. Dengan fokus menjaga kualitas kredit dan rasio kredit bermasalah (NPL), bank disebut lebih selektif membiayai sektor usaha, terutama yang berisiko, sehingga pertumbuhan kredit modal kerja semakin tertekan.
"Sehingga, penurunan BI-rate tidak serta-merta langsung tecermin pada suku bunga pinjaman riil yang diterima pelaku usaha," ungkap Shinta, Rabu (17/9).
Menurutnya, tanpa dukungan insentif dari pemerintah untuk mendorong sektor keuangan menurunkan bunga pinjaman dan mempercepat distribusi kredit ke sektor riil, dampak positif kebijakan moneter akan sangat terbatas. Apalagi saat ini pelaku usaha menghadapi tekanan ganda, yakni lemahnya permintaan akibat daya beli yang tertekan, serta tingginya biaya pendanaan.
Dalam kondisi ini, efisiensi menjadi keharusan, namun inovasi dan ekspansi sulit dilakukan tanpa pelonggaran beban finansial. Situasi tersebut ikut menahan kepercayaan bisnis dan menghambat pemulihan ekonomi secara lebih luas.
Dunia usaha, lanjut Shinta, berharap tren pelonggaran suku bunga dapat diikuti langkah paralel dari perbankan agar bunga pinjaman nasional bisa mendekati bahkan lebih rendah dari rata-rata ASEAN.
"Hal ini penting terutama bagi sektor padat karya, manufaktur, dan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang sangat sensitif terhadap biaya pendanaan," tegas Ketum Apindo itu.
Penurunan bunga kredit dianggap menjadi kunci untuk mendorong ekspansi usaha, penciptaan lapangan kerja, serta peningkatan daya saing. Selain itu, dunia usaha juga mendorong percepatan reformasi struktural untuk mengatasi tingginya biaya produksi dan operasional perusahaan.
Reformasi ini, jelas Shinta, mencakup penyederhanaan perizinan, pemberian insentif fiskal, hingga perbaikan pasar tenaga kerja, agar Indonesia tetap kompetitif dalam menarik investasi di tengah dinamika global.
"Intinya, dunia usaha butuh oksigen untuk tumbuh. Oksigen itu adalah likuiditas yang terjangkau, kepastian regulasi, dan kemudahan berusaha," tuturnya
Jika pemerintah konsisten menjaga iklim usaha, menurunkan biaya struktural, dan memperkuat konsumsi, kombinasi kebijakan moneter dan fiskal yang ada saat ini akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Rabu (17/9), Bank Indonesia memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,75%. (Ins/E-1)