Pakar: Pemakzulan Wapres Harus Didasari Alasan Konstitusional Bukan Tekanan Politik

15 hours ago 4
 Pemakzulan Wapres Harus Didasari Alasan Konstitusional Bukan Tekanan Politik Wapres Gibran Rakabuming Raka.(Dok. MI/Usman Iskandar)

PAKAR Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Yance Arizona menjelaskan bahwa permintaan pemberhentian Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka oleh Forum Purnawirawan TNI kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) belum memiliki dasar hukum yang memadai.

Yance mengatakan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, setiap proses pemakzulan wapres harus berjalan berdasarkan ketentuan konstitusional dan bukan semata-mata didorong oleh opini atau tekanan politik. Menurutnya, penting untuk membedakan antara dorongan politik simbolik dan mekanisme hukum yang sungguh-sungguh dapat ditempuh.

“Argumen-argumennya juga tidak begitu solid secara hukum. Belum tentu ini memang satu proses hukum yang sedang digulirkan, tapi bisa jadi proses politik yang justru menjadikan spotlight pemberitaan media terarah ke Wakil Presiden Gibran,” ujarnya dalam keterangan yang diterima Media Indonesia pada Selasa (6/5).

Secara konstitusional, mekanisme pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden telah diatur secara tegas dalam Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal tersebut menyatakan bahwa pemakzulan hanya dimungkinkan apabila yang bersangkutan terbukti melakukan pelanggaran hukum, antara lain berupa pengkhianatan terhadap negara, tindak pidana korupsi, penyuapan, kejahatan berat lainnya, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Yance menjelaskan ketentuan ini menunjukkan bahwa prosedur pemakzulan tidak dapat ditempuh secara sewenang-wenang, melainkan harus melalui pembuktian hukum yang kuat dan berlandaskan ketentuan konstitusi.

“Kalau kita kaitkan dengan impeachment clauses itu yang ada di Pasal 7A, kita tidak melihat mana cantelan yang akan dipakai untuk memberhentikan Gibran sampai hari ini,” tegas Yance.

Lebih lanjut, Yance menjelaskan bahwa MPR bukan lembaga yang memulai proses pemakzulan, melainkan institusi yang menjalankan keputusan akhir setelah tahapan-tahapan sebelumnya dilalui. Menurutnya, pintu masuk proses pemakzulan terletak di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

DPR kata Yance, dapat menggunakan hak angket atau langsung mengajukan hak menyatakan pendapat jika terdapat dugaan bahwa Presiden atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum sesuai dengan Pasal 7A. Proses ini melibatkan berbagai lembaga negara dan menuntut adanya kehati-hatian dalam setiap tahapannya.

“Nanti kalau MK menyatakan terbukti, itu bisa menjadi dasar untuk MPR mengadakan sidang dan memberhentikan Presiden atau Wakil Presiden,” jelasnya.

Dalam konteks kasus Wakil Presiden Gibran, muncul pertanyaan apakah dugaan pelanggaran etik atau manipulasi dalam proses pencalonannya dapat dimasukkan sebagai pelanggaran berat atau perbuatan tercela sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A.

Menanggapi hal tersebut, Yance menyampaikan bahwa secara teoritis hal tersebut bisa dikaitkan ke dalam impeachment clauses, terutama jika terbukti terdapat intervensi kekuasaan dalam proses pencalonan.

Menurut, aspek ini membutuhkan penyelidikan hukum yang cermat untuk membuktikan adanya pelanggaran yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan tercela atau penghilangan syarat konstitusional.

“Kalau memang Gibran atau orang tuanya, mantan Presiden Jokowi, terlibat dalam manipulasi proses persidangan MK atau di KPU, itu bisa dijadikan dasar untuk melihat ada manipulasi yang sudah terjadi dan sebenarnya Gibran tidak memenuhi syarat sebagai calon Wakil Presiden,” jelasnya.

Lebih lanjut, Yance juga menekankan bahwa batas usia calon Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam UUD 1945 adalah 40 tahun. Dalam kasus Gibran, persoalan usia menjadi titik krusial, mengingat ia dilantik sebagai Wakil Presiden saat usianya belum mencapai batas minimal tersebut.

Hal ini lanjutnya, membuka ruang bagi interpretasi konstitusional yang lebih luas, terutama jika proses hukum membuktikan bahwa syarat tersebut memang dilanggar secara sistematis dan disengaja. Oleh karenanya, wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka tidak dapat dipisahkan dari pertimbangan konstitusional yang ketat.

“Pendekatan hukum yang sahih justru harus dimulai dari DPR melalui pembentukan panitia angket atau lewat gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas dasar pencalonan yang dianggap tidak sah,” imbuhnya.

Yance menilai, kedua jalur tersebut memungkinkan terbukanya ruang pembuktian atas dugaan manipulasi dan pelanggaran syarat usia dalam pencalonan Gibran. Artinya, di tengah riuhnya opini publik, proses pemakzulan hanya sah jika berangkat dari fondasi hukum yang kokoh, bukan sekadar gelombang ketidakpuasan politik.

“Jika memang terbukti, itu bisa jadi dasar impeachment karena menyangkut syarat konstitusional. Tapi tetap harus dibuktikan secara hukum, bukan sekadar tekanan politik,” pungkasnya. (H-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |