
PERMOHONAN maaf yang disampaikan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Simon Aloysius Mantiri mengenai korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina periode 2018-2023, dianggap tidak cukup mengembalikan kepercayaan masyarakat. Pengamat ekonomi energi dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Yayan Satyakti menegaskan perusahaan pelat merah itu mesti membenahi tata kelola usaha yang baik atau good corporate governance (GCC) di segala lini usaha.
"Ya permintaan maaf saja tidak cukup. Pertamina mesti membangun tata kelola usaha secara transparan dan mengembalikan ke fungsi bisnis secara baik," ujarnya kepada Media Indonesia, Senin (3/3).
Untuk menghindari mark-up atau penggelembungan harga dalam pembelian impor minyak, Yayan menegaskan perlu ada
sistem yang transparan agar kegiatan monitoring bisa dilakuka secara lebih terbuka.
"Seperti, proses lelang pengadaan impor ini dapat dipublikasikan ke publik," ucap Pri Agung.
Pertamina juga diminta mengurangi intervensi politik dengan memilih dewan direksi Pertamina dan anak perusahaan secara profesional untuk tidak terjatuh dalam kejahatan korupsi kembali.
Selain itu, Menteri BUMN Erick Thohir didesak melakukan restrukturisasi dewan direksi anak usaha Pertamina, utamanya di tubuh PT. Pertamina Patra Niaga yang terseret dalam kasus rasuah yang merugikan negara ratusan triliun rupiah.
Dihubungi terpisah, pemerhati sektor energi Pri Agung Rakhmanto menegaskan perusahaan migas nasional itu wajib membenahi pengelolan migas dari hulu hingga hilir.
Di hulu, Pertamina mesti aktif mengakuisisi lapangan migas yang sudah berproduksi di luar Tanah Air. Ini penting guna meningkatkan lifting atau produksi siap jual minyak nasional yang masih stagnan di level 600 ribu barel per hari.
"Akuisisi lapangan migas itu penting supaya Pertamina bisa membawa produksi minyaknya ke dalam negeri untuk membantu lifting," ucapnya.
Kemudian, di sektor hulu dan tengah (midstream) migas, Pertamina dituntut membangun kilang baru. Setidaknya, dalam jangka waktu lima tahun, ada satu kilang baru yang dibangun dengan kapasitas 400 ribu barel per hari.
"Jadi, tidak hanya upgrading kapasitas kilang yang ada saja. Kilang baru sangat diperlukan untuk membantu mengurangi impor BBM," tegas Pri Agung.
Di sektor hilir, lanjutnya, guna menaruh kembali kepercayaan masyarakat usai adanya dugaan BBM oplosan, Pertamina diharuskan meningkatkan kualitas pelayanan dan produk. Langkah ini, katanya, yang menjadi tolak ukur utama yang dapat dilihat masyarakat secara luas terhadap kinerja Pertamina. (H-4)