
MENTERI Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai mengatakan pihaknya akan mengawasi pelaksanaan kebijakan pengiriman sejumlah pelajar yang dicap ‘nakal’ ke barak militer untuk menjalani pendidikan karakter.
“Kami bukan hanya sekedar mengawasi, tapi kami akan ikut memberikan masukan-masukan yang lebih. Bahkan, saya sudah diskusi dengan para eselon 1, nanti justru kita akan berikan berbagai masukan,” ujarnya kepada awak media di Gedung Kementerian HAM pada Selasa (6/5).
Pigai menilai, kebijakan yang diinisiasi Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi tersebut harus mendapat dukungan. Ia juga meminta kepada berbagai pihak khususnya media dan para pakar pendidikan untuk memberikan masukan dan mengawasi pelaksanaannya agar lebih transparan.
“Kita semua harus mendorong Media juga ikut serta, komunitas masyarakat juga ikut serta, pengamat juga ikut serta supaya kualitasnya lebih bagus. Ya karena itu menurut saya transparansi di dalam dunia pendidikan itu penting. Pengaturan dan sistemnya harus transparan dan terbuka kepada publik,” imbuhnya.
Saat ditanya terkait adanya pelajar yang menangis dan melarikan diri dari pendidikan ala militer tersebut pada hari pertama, Pigai enggan memberikan komentarnya lebih jauh. Namun, ia mendorong agar masyarakat ikut mengawasinya.
“Ya itu kasuistik, saya tidak bisa masuk karena saya belum tahu, ini kan masalah. Saya kira ini kan milik negara, menggunakan uang rakyat, semuanya bisa dilihat dan bisa dijaga, sehingga orang-orang yang dididik itu tidak seperti yang opini-opini negatif yang dikembangkan,” jelas Pigai.
Selain itu, Pigai juga menanggapi pernyataan Komnas HAM yang menilai TNI tidak memiliki kewenangan untuk melakukan civic education atau pendidikan kewarganegaraan terhadap siswa. Menurut Pigai, pernyataan Komnas HAM tersebut tidak valid lantaran tidak merujuk pada instrumen hukum dan undang-undang.
“Civics education itu politik. Pancasila, undang-undang, NKRI, Merah Putih, ya, itu namanya pendidikan kewarganegaraan. Ini bukan pendidikan kewarganegaraan, ini pendidikan yang berorientasi pada produktivitas dan kompetensi, knowledge, skills, dan attitude,” jelas Pigai.
“Jadi dalam rangka peningkatan seseorang dari sisi knowledge-nya, yang kedua skills-nya, yang ketiga attitude-nya. Tidak ada pendidikan kewarganegaraan,” lanjutnya.
Kendati demikian, Pigai menghargai pernyataan Komnas HAM tersebut, Ia berharap seluruh lembaga yang berwenang untuk mengawasi penegakan instrumen HAM, dapat saling bersinergi.
“Kita akan nanti berdiskusi ya, berdiskusi supaya nilai-nilai HAM-nya itu lebih kuat. Kita kan sama-sama pemerintah. Kewenangan yang diberikan kepada kami itu adalah mengkoordinasikan dengan pemerintah Provinsi, Kabupaten, dan Kota,” ujar Pigai
Lebih jauh, Pigai menekankan pendidikan bagi siswa bermasalah di barak militer tidak menyalahi standar HAM karena bukan merupakan bentuk hukuman fisik (corporal punishment), melainkan bagian dari pembentukan karakter, mental, dan tanggung jawab anak.
“Ketika saya bilang ini bukan corporal punishment, maka close tidak ada rujukan undang-undang HAM yang bertabrakan. Kalau pakai hukum pareto itu 90%, sekalipun hanya dari sisi 1% nilai HAM, tapi dia mempengaruhi seluruh sistem dalam pelaksanaan pendidikan di barak Militer. Jadi nilai HAM-nya akan lebih dominan,” katanya. (Dev/P-3)