Menjahit Karakter lewat 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat

1 month ago 32
MI/Duta MI/Duta(Dok. Pribadi)

MASA kecil dulu pernah menjadi ruang bermain yang lepas. Ada tawa yang meledak di gang sempit, ada keringat yang menetes di lapangan tanah, ada luka kecil yang justru mengajarkan keberanian. Semua itu kini hanya tinggal kenangan. Anak-anak zaman ini tumbuh berbeda. Mereka lebih akrab dengan cahaya biru layar ketimbang sinar matahari sore. Jemari mereka lincah menggulir notifikasi, sementara kaki mereka jarang lagi berlari bebas.

Padahal karakter lahir dari permainan nyata. Dari kalah lalu mencoba lagi, dari jatuh lalu bangkit, anak-anak dulu ditempa untuk menjadi tangguh. Ruang pembelajaran itu kini menyusut, bahkan nyaris hilang.

Fenomena itu menandai lahirnya phone-based childhood dan meredupnya play-based childhood . Masa kecil yang dijinakkan layar, bukan oleh pengalaman nyata. Generasi yang seolah terhubung dengan seluruh dunia, tapi diam-diam merasa sepi.

Akibatnya mencemaskan: interaksi sosial merapuh, tidur terganggu, perhatian tercerai-berai, kecanduan merajalela. Generasi yang mestinya tumbuh kuat justru tumbuh rapuh. Inilah alarm keras bagi masa depan kita.

PERGESERAN BESAR

Jonathan Haidt dalam bukunya, The Anxious Generation (2024), menegaskan bahwa sejak awal 2010-an sebetulnya sudah banyak riset yang memberikan peringatan dini tentang adanya pergeseran besar. Masa kanak-kanak yang dahulu ditempa permainan perlahan digantikan masa yang dibentuk ponsel.

Anak-anak, kata Haidt, sejatinya antifragile. Mereka butuh tantangan kecil untuk belajar menghadapi kesulitan saat dewasa. Permainan masa lalu menyediakan ruang itu: risiko, jatuh bangun, dan keberanian mencoba lagi. Namun, budaya safetyism membuat orangtua dan sekolah terlalu protektif. Anak kehilangan kesempatan alami untuk tumbuh tangguh.

Puncaknya, masa kecil kini seolah 'disusun ulang' oleh ponsel. Mereka lebih sering tinggal di rumah dan berpindah dari TV, komputer, lalu smartphone. Dunia nyata perlahan tergeser oleh layar yang seakan tak pernah padam.

Kondisi itu diperparah algoritma media sosial yang terus menjerat perhatian anak-anak. Mereka diarahkan untuk terus menatap layar. Setiap klik, like, dan scroll membuat mereka semakin sulit melepaskan diri.

Haidt juga menilai media sosial merusak dimensi spiritual: hilangnya pengalaman kolektif, keheningan, pengendalian diri, dan rasa kagum pada alam. Data memperlihatkan tren suram. Waktu tatap muka dengan teman menurun, remaja yang tidur kurang dari 7 jam meningkat, jumlah sahabat dekat berkurang. Efek paling berat dirasakan remaja putri.

Kasus gugatan terhadap Meta di AS menjadi gambaran betapa seriusnya persoalan itu. Keluarga seorang remaja di New York menuntut Instagram dan perusahaan induknya karena dianggap dengan sengaja menciptakan produk yang membuat anak-anak kecanduan. Gugatan class-action di pengadilan California menuduh Meta memakai desain kompulsif agar anak di bawah umur terus melakukan scrolling.

Nilai tuntutan mencapai US$5 miliar, atau sekitar Rp80 triliun. Pengadilan digerakkan kesaksian orangtua, data riset, dan tekanan publik yang menuntut akuntabilitas dari perusahaan teknologi.

Gejala itu makin jelas di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Riset APJII 2023 dan Unicef menunjukkan anak-anak kita menghabiskan jam layar jauh di atas batas sehat. Jika generasi muda tumbuh rapuh akibat phone-based childhood, bagaimana mereka menghadapi masa depan yang penuh tantangan?

Inilah titik krusial yang menuntut hadirnya solusi konkret. Kita tidak bisa hanya mengkritisi tanpa menawarkan jalan keluar. Dibutuhkan sebuah gerakan pembaruan karakter, semacam revolusi mental dengan wajah baru yang lebih membumi. Di sinilah 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat yang digagas Mendikdasmen Prof Abdul Mu'ti hadir sebagai upaya memulihkan karakter yang hilang.

SOLUSI HEBAT

Di tengah krisis ini, 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat dapat hadir sebagai penawar. Kebiasaan itu bukan sekadar teori, melainkan praktik yang menguatkan fondasi karakter. Setiap kebiasaan menyentuh sisi kehidupan anak yang kini tergerus oleh dominasi layar.

Kebiasaan pertama adalah bangun pagi. Kebiasaan sederhana ini sering diremehkan, padahal dampaknya besar. Anak yang terbiasa bangun pagi memiliki ritme hidup teratur, semangat belajar lebih tinggi, dan kesehatan mental lebih stabil. Kebiasaan bangun lebih awal berkorelasi dengan produktivitas dan suasana hati yang positif. Dari kebiasaan itu lahirlah pijakan untuk mengelola hari dengan lebih baik.

Kebiasaan kedua beribadah. Praktik ibadah menanamkan makna, disiplin, dan regulasi diri. Riset psikologi perkembangan menunjukkan bahwa keterikatan spiritual terkait dengan resiliensi yang lebih tinggi dan tingkat kecemasan yang lebih rendah pada remaja. Rutinitas doa, syukur, dan refleksi membangun self control. Kemampuan yang melemah ketika hidup dikendalikan notifikasi.

Kebiasaan ketiga adalah berolahraga. Aktivitas fisik meningkatkan kualitas tidur, fungsi eksekutif, dan suasana hati. Literatur kesehatan anak merekomendasikan aktivitas moderat–vigorous setiap hari karena terbukti menurunkan gejala kecemasan dan meningkatkan fokus belajar. Olahraga di ruang terbuka juga mengembalikan unsur permainan bebas yang hilang.

Lalu makan sehat dan bergizi. Gizi yang baik berdampak langsung pada kognisi, emosi, dan energi belajar. Kita tahu, pola makan tinggi gula dan ultraproses berkorelasi dengan gangguan fokus dan fluktuasi emosi, sedangkan protein, serat, dan omega 3 mendukung stabilitas suasana hati. Sarapan berkualitas memperbaiki atensi di kelas dan mengurangi dorongan snacking sambil scrolling.

Kebiasaan gemar belajar yang berkelanjutan membangun growth mindset, yaitu keyakinan bahwa kemampuan bisa ditumbuhkan melalui latihan (Dweck). Anak yang gemar membaca dan bereksperimen cenderung memiliki rentang perhatian lebih panjang dan kontrol diri lebih baik. Pembelajaran mandiri dan proyek kecil mengganti doomscrolling dengan rasa ingin tahu yang produktif.

Interaksi tatap muka memperkuat empati, kepercayaan, dan dukungan sosial. Itu adalah penyangga penting terhadap depresi dan kesepian. Karena itu, penting bagi anak untuk memiliki kebiasaan bermasyarakat. Teori modal sosial menunjukkan bahwa keterlibatan komunitas meningkatkan kesejahteraan dan rasa bermakna. Jejaring nyata ini menutup celah deprivasi sosial akibat relasi digital yang dangkal.

Terakhir, kebiasaan tidur yang cukup. Tidur yang cukup menstabilkan emosi, memperkuat memori, dan memperbaiki imunitas. Kebiasaan tidur cepat memutus siklus late-night scrolling dan jet lag sosial. Ritme sirkadian yang terjaga adalah benteng pertama melawan kelelahan kognitif dan perilaku impulsif.

Namun, semua kebiasaan ini tidak akan tumbuh tanpa dukungan ekosistem. Orangtua harus berani tegas memberi batasan gawai. Sekolah perlu memperbanyak ruang bermain dan melarang ponsel di kelas. Pemerintah mesti menegakkan regulasi serta menyediakan ruang publik ramah anak. Krisis generasi cemas hanya bisa diatasi jika semua pihak bergerak bersama.

Generasi cemas bukan takdir. Indonesia punya peluang mencetak generasi hebat dengan menjahit ulang masa kecil anak-anak kita melalui 7 kebiasaan ini. Masa depan bangsa tidak ditentukan seberapa canggih smartphone yang mereka genggam, tetapi oleh karakter dan kebiasaan yang mereka latih sejak dini. Dari proaktif hingga mengasah gergaji, tujuh kebiasaan itu bisa menjadi jembatan dari generasi cemas menuju generasi hebat.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |