Mencari Representasi yang Hilang

2 hours ago 1
MI/Seno MI/Seno(Dok. Pribadi)

BAYANGKAN jika suatu hari rakyat merasa sudah tidak lagi punya suara di ruang-ruang perwakilan. Bayangkan ketika setiap undang-undang hanya lahir dari kalkulasi elite partai. Bayangkan suara rakyat selalu tenggelam dalam hiruk-pikuk transaksi politik. Apa yang akan terjadi? Rakyat bisa dipastikan tidak akan selalu tinggal diam. Mereka akan mencari jalan baru untuk mengisi kekosongan itu, bahkan dengan cara yang tidak atau belum pernah kita bayangkan sebelumnya.

Fenomena politik dari Nepal memberi gambaran konkret akan hal itu. Setelah gelombang protes besar menumbangkan perdana menteri, generasi muda Nepal yang kebanyakan gen Z, bergerak dengan cara yang unik. Mereka berkumpul di forum daring, berdiskusi terbuka, dan bahkan meminta masukan dari kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI) untuk menimbang calon pemimpin. Dari proses deliberasi digital yang intens, akhirnya mereka menjatuhkan pilihan secara informal kepada Sushila Karki, mantan Ketua Mahkamah Agung Nepal, sebagai sosok yang dianggap paling layak memimpin masa transisi.

Tentu saja pemilihan seperti itu tidak diatur dan tidak sah secara konstitusional. Namun, pesan yang lahir dari peristiwa itu jauh lebih penting untuk kita cermati. Bahwa ketika institusi formal gagal menjalankan fungsinya, rakyat akan mencari saluran representasi alternatif, seaneh atau secanggih apa pun bentuknya. Nepal hanya contoh terbaru, tetapi sejarah dunia menunjukkan bahwa praktik tersebut punya akar yang panjang.

MAJELIS SORTISI

Di Athena Kuno, demokrasi justru lahir bukan dari pemilu seperti yang kita kenal sekarang, melainkan dari undian acak. Saat itu pengisian pejabat publik dilakukan secara undian. Orang Athena percaya bahwa kekuasaan politik tidak boleh dimonopoli oleh segelintir orang. Maka itu, setiap tahun, warga dewasa laki-laki masuk ke daftar, lalu nama mereka diundi dengan kleroterion, sebuah mesin batu dengan slot tempat memasukkan nama. Bola hitam dan putih menentukan siapa yang terpilih untuk mengisi jabatan publik.

Melalui mekanisme itu, Boule atau Dewan 500 terisi setiap tahun oleh warga biasa yang terpilih secara acak. Mereka yang terpilih bertugas menyiapkan agenda bagi majelis rakyat, sementara magistrat dipilih untuk mengurus urusan administratif kota. Pengadilan rakyat (dikasteria) pun dijalankan oleh juri yang senantiasa berganti. Masa jabatan singkat, biasanya hanya satu tahun untuk memastikan rotasi yang cepat. Aturan ketat juga melarang seseorang menjabat berkali-kali dalam posisi yang sama, kecuali pada jabatan teknis tertentu seperti jenderal.

Filosofinya sederhana sekaligus radikal (untuk masa itu), bahwa jabatan publik ialah tugas kewargaan, bukan karier pribadi. Pemerintahan ialah tanggung jawab bersama seluruh warga polis, bukan hak istimewa elite tertentu. Untuk menjaga integritas, orang yang terpilih menjalani pemeriksaan awal (dokimasia) sebelum menjabat, dan setelah selesai harus mempertanggungjawabkan kinerjanya dalam evaluasi akhir yang disebut euthyna. Dengan sistem ini, demokrasi Athena menekankan bahwa partisipasi politik adalah hak sekaligus kewajiban semua warga negara.

Gagasan undian acak tidak berhenti pada masa Yunani. Pada masa kini, gagasan tersebut kembali muncul dalam bentuk moderen yang dikenal sebagai majelis sortisi (sortition assembly). Majelis sortisi antara lain diperkenalkan oleh akademisi seperti John Gastil dan Erik Olin Wright melalui karya mereka yang berjudul Legislature by Lot: Transformative Designs for Deliberative Governance. 

Bedanya, sortisi modern dirancang lebih inklusif, bukan hanya laki-laki warga polis, melainkan juga seluruh warga dewasa tanpa diskriminasi gender, kelas, atau status berhak dipilih. Seleksi dilakukan secara acak dengan stratifikasi sederhana untuk menjamin keberagaman usia, gender, wilayah, bahkan latar belakang sosial.

Mereka yang terpilih mendapat pelatihan, dukungan staf profesional, serta insentif yang setara dengan legislator yang dipilih melalui pemilu. Masa jabatan dibatasi hanya dua hingga lima tahun dengan sistem rotasi agar selalu ada kombinasi antara anggota baru dan yang berpengalaman. Majelis sortisi dirancang bukan untuk menggantikan parlemen hasil pemilu, melainkan melengkapinya. Gagasan model 'bikameral deliberatif' ini menempatkan satu kamar hasil pemilu untuk menjaga dinamika partai dan negosiasi politik, sementara kamar sortisi menghadirkan deliberasi rasional, representatif, dan bebas dari tekanan logika elektoral.

Praktik majelis sortisi modern sudah mulai diterapkan di sejumlah negara. Di Prancis, misalnya, Citizens’ Convention for Climate menghadirkan warga yang dipilih secara acak dengan metode kuota agar representatif berdasarkan usia, gender, lokasi, hingga pendidikan untuk merumuskan rekomendasi kebijakan iklim. Belgia menguji beberapa model demokrasi deliberatif berbasis sortisi di tingkat wilayah. Sementara itu, Inggris membentuk citizens' assemblies beranggotakan 50-150 orang yang dipilih secara undi untuk membahas isu kebijakan tertentu dan memberi rekomendasi kepada parlemen.

Meski belum menggantikan lembaga legislatif formal, praktik-praktik tersebut menjadi bukti konkret bahwa sortisi dapat menjadi pelengkap penting bagi demokrasi elektoral. Pasalnya, majelis sortisi telah mampu menghadirkan deliberasi publik yang lebih inklusif dan representatif.

KOREKSI DIRI

Nepal dengan eksperimen digitalnya, Athena dengan tradisi kleroterionnya, dan wacana akademik tentang majelis sortisi modern sesungguhnya memberi kita pelajaran yang sama. Representasi ialah jantung demokrasi, dan bila ia patah, rakyat akan mencari cara baru untuk memperbaikinya.

Bagi partai politik dan parlemen, inilah peringatan nyata yang tidak boleh diabaikan. Rakyat tidak selamanya bisa ditenangkan dengan slogan, janji, atau program tambal sulam. Mereka membutuhkan representasi yang kongkret, terasa, dan dapat dipercaya. Jika partai dan DPR membiarkan jarak dengan rakyat semakin melebar, mereka harus siap menghadapi konsekuensi lahirnya tuntutan alternatif yang muncul terus-menerus.

Alternatif itu bisa hadir dalam banyak bentuk. Bisa berupa protes besar yang berujung pada pemilihan informal dengan bantuan teknologi digital sebagaimana yang terjadi di Nepal. Bisa berupa seruan pembentukan majelis sortisi, yang memberi rakyat kesempatan langsung untuk duduk dan membuat keputusan, sebagaimana yang pernah dipraktikkan di Athena dan kini dihidupkan kembali dalam wacana demokrasi modern, atau ia bisa muncul dalam bentuk-bentuk lain yang lebih radikal, sesuai dengan kreativitas zaman dan kemajuan teknologi.

Sejarah dan pengalaman negara lain menunjukkan bahwa rakyat selalu menemukan jalan ketika representasi macet. Saat parlemen tak lagi dipercaya dan partai gagal menjalankan fungsinya, rakyat akan menciptakan institusi baru. Entah dari jalanan, dari ruang digital, atau dari meja undian yang sederhana. Karena itu, partai politik dan DPR harus segera bertobat, mengoreksi diri, dan berbenah.

Partai politik harus memperbaiki rekrutmen, mengurangi dominasi uang, membuka diri pada deliberasi yang sungguh-sungguh, dan benar-benar mendengar suara rakyat. Jika tidak, apa yang kini tampak sebagai eksperimen kecil di Nepal atau gagasan akademik di ruang seminar bisa dengan cepat berubah menjadi tuntutan luas yang mengguncang fondasi politik konvensional saat ini.

Nepal sudah memberi contoh bagaimana rakyat bisa memanfaatkan teknologi untuk mengisi kekosongan representasi. Athena memberi warisan bahwa undian bisa lebih demokratis daripada pemilu jika tujuannya ialah kesetaraan. Para akademisi modern menunjukkan bahwa sortisi bisa dirancang ulang agar sesuai dengan kebutuhan demokrasi kontemporer. Semua itu bukan sekadar cerita sejarah atau eksperimen di negeri jauh, melainkan juga peringatan universal agar jangan pernah abaikan aspirasi rakyat karena mereka akan selalu menemukan cara untuk menyuarakan dirinya.

Pada akhirnya, pertanyaan sederhana, tapi mendasar harus ditujukan kepada partai politik dan DPR. Apakah mau berbenah sebelum terlambat ataukah rela melihat rakyat mencari jalannya sendiri?

TIM INDEPENDEN

Reformasi pemilu dan partai politik di Indonesia kini menjadi keharusan yang tidak bisa lagi ditunda. Ledakan kekecewaan publik terhadap kinerja para wakilnya jelas berakar pada problem desain pemilu dan tata kelola partai politik yang gagal menjadi sumber representasi politik yang sahih. Sistem pemilu yang ada bukannya menghasilkan DPR dan pemerintah yang saling mengawasi, melainkan melahirkan kroniisme politik yang saling menopang untuk mempertahankan kekuasaan.

Agenda rutin revisi Undang-Undang Pemilu pun kerap hanya berhenti pada hitung-hitungan elektoral tanpa menyentuh akar persoalan akuntabilitas representasi dan efektivitas pemerintahan. Di sisi lain, partai politik sebagai aktor utama dalam demokrasi modern masih jauh dari nilai demokratis dalam cara mereka mengelola organisasinya. Fungsi rekrutmen yang mestinya dijalankan secara terbuka dan meritokratik justru lebih sering berlangsung tertutup, pragmatis, dan transaksional. Akibatnya, publik disuguhi calon-calon yang bermasalah secara kualitas dan minim keberpihakan atas kepentingan rakyat.

Karena itu, menjadi sangat logis ketika Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kodifikasi RUU Pemilu yang terdiri atas Perludem, Pusako, Puskapol, KPI, Netgrit, ICW, PSHK, Themis, dan Migrant CARE kemudian mendesakan agenda reformasi pemilu dan partai politik agar dijalankan secara nyata dan segera. Penekanan Koalisi Masyarakat Sipil antara lain agar pembentuk undang-undang segera. Pertama, melakukan revisi UU Pemilu dan UU Partai Politik sebagai legislasi prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2025.

Kedua, menyusun naskah akademik dan rancangan undang-undang dengan melibatkan Tim Independen yang berasal dari berbagai pemangku kepentingan: organisasi masyarakat sipil, akademisi, aktivis kepemiluan, hingga kelompok minoritas. Ketiga, memastikan pembahasan di DPR berjalan dengan transparan, akuntabel, partisipatif, dan inklusif agar tidak lagi menjadi arena transaksi elite, tapi sebagai ruang deliberasi publik yang bermakna.

Hanya dengan jalan itulah, revisi UU Pemilu dan UU Partai Politik bisa menjadi momentum koreksi mendasar atas kirisis representasi kita saat ini. Bukan sekadar ritual politik. Bila DPR dan partai politik berani membuka diri, momentum politik saat ini dapat mengembalikan kepercayaan rakyat dan menghadirkan representasi politik yang benar-benar berakar pada aspirasi masyarakat.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |