
KESERIUSAN pemerintah untuk memberantas judi online (judol) mulai memperlihatkan hasilnya. Perputaran uang dan transaksi judol pada awal 2025 ini dilaporkan turun. Pada kuartal pertama 2025 atau Januari-Maret, tercatat perputaran uang judol hanya Rp47 triliun. Angka tersebut turun jika dibandingkan dengan triwulan I 2024 yang mencapai Rp90 triliun.
Sementara itu, jumlah transaksi judol tercatat hingga Maret sekitar Rp40 juta dan sepanjang 2025 diprediksi akan sekitar Rp160 juta transaksi jika dibandingkan dengan transaksi pada 2024 yang mencapai 209 juta transaksi (Media Indonesia, 8 Mei 2025).
Indonesia yang disebut-sebut sedang darurat judi online, tentunya kabar bahwa transaksi judol mulai turun sangat menggembirakan. Dalam dua-tiga tahun terakhir, kita tahu judol cenderung makin meluas. Ketika di awal-awal masyarakat mengaku hanya iseng dan kemudian terlibat dalam permainan judol, ternyata ujung-ujungnya tidak sedikit yang menjadi kecanduan. Mereka menjadi adiktif karena tawaran mimpi dan judol dianggap sebagai cara instan untuk mengubah nasib.
Survei Populix 2023 berjudul Understanding the Impact of Online Gambling Ads Exposure menemukan sekitar 84% pengguna internet di Indonesia sering melihat iklan judol di media sosial, seperti Instagram, Youtube, dan Facebook.
Di Indonesia, total nilai transaksi judi online di Indonesia hingga Maret 2024 mencapai lebih dari Rp 600 triliun. Sebanyak 2,37 juta penduduk main judol. Dari jumlah tersebut, 2% atau 800 ribu di antaranya merupakan anak-anak dengan usia di bawah 10 tahun. Selain itu, jumlah terbanyak pemain judol berada pada rentang usia 30-50 tahun dengan persentase mencapai 40% atau 1.640.000 penduduk. Kemudian dari 2,37 juta pelaku judi, 80% di antaranya tergolong kalangan menengah ke bawah.
Keterlibatan seseorang dalam praktik perjudian bukan hanya menyebabkan munculnya ketergantungan dan adiksi yang berlebihan. Namun, ketergantungan emosional yang mana perjudian dipandang sebagai cara untuk menghindari stres, kecemasan, atau depresi.
Secara sosiologis, kecanduan seseorang pada perjudian bisa karena pengaruh teman, keluarga, dan lingkungan sosial. Perilaku yang adiktif pada perjudian sering kali dipicu karena ketergantungan pada uang dan keinginan untuk memenangkan jackpot atau hadiah besar secara instan.
Masyarakat yang merasa nasibnya tak kunjung membaik lewat jalur kerja dan usaha, bukan tidak mungkin akan melihat judol sebagai peluang baru yang menjanjikan. Dalam berbagai kasus, sering kali terjadi judol dilihat sebagai jalan pintas untuk mendapatkan uang banyak dengan cepat. Judol di mata masyarakat sering dikonstruksi sebagai kesempatan untuk mengubah nasib.
Per definisi, judi pada dasarnya ialah mempertaruhkan sesuatu yang dianggap bernilai dengan menyadari adanya risiko dan harapan-harapan tertentu pada peristiwa-peristiwa, permainan pertandingan, perlombaan dan kejadian-kejadian yang tidak/belum pasti hasilnya (Amoah-Nuamah, Agyemang-Duah, Mensah & Opoku, 2022).
Stres mendorong orang-orang terlibat judol yang sebetulnya justru memperbesar stres. Namun, peristiwa kehidupan yang penuh tekanan dapat memiliki konsekuensi yang lebih buruk daripada terlibat dalam permainan yang kompulsif karena dianggap sebagai faktor risiko untuk berbagai perilaku menyimpang (Escario & Wilkinson, 2020).
Di era postmodern, judol ialah bentuk perilaku adiktif yang melibatkan taruhan uang atau barang bernilai melalui platform digital. Judol ialah aktivitas yang melibatkan risiko, ketidakpastian, dan potensi keuntungan, yang memicu respons psikologis dan fisiologis.
Berbagai kajian telah membuktikan bahwa judol ialah fenomena sosial yang melibatkan interaksi antara individu, teknologi, dan struktur sosial. Judol adalah bentuk perjudian yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk memfasilitasi aktivitas perjudian. Perjudian daring berbeda dari perjudian luring seperti tingkat aksesibilitas, kenyamanan, ketidaknyataan, anonimitas, dan keragaman yang lebih tinggi.
Seperti halnya minuman keras dan narkotika, judol niscaya menyebabkan kecanduan karena penjudi dihadapkan pada harapan kosong satu ke harapan berikutnya yang diimpikan. Kecanduan judi yang disebut juga gambling disorder merupakan salah satu bentuk gangguan mental yang kronis. Hanya, si pelaku judi umumnya tidak menyadari kekeliruannya, karena sudah terlanjur terjerumus dalam perilaku judi yang irrasional.
Banyak penjudi mengalami kesulitan berhenti berjudi meski dalam keadaan sadar mereka ingin berhenti. Seseorang menjadi penjudi sering kali karena dilatarbelakangi oleh kemiskinan dan keinginan untuk segera mengubah nasib.
DIPENGARUHI IKLAN
Seseorang di era postmodern tertarik pada judol sering kali karena dipengaruhi oleh peran media dan iklan yang mempromosikan perjudian. Seorang yang sudah telanjur kecanduan pada judol, ia akan memiliki ketergantungan emosional, mengabaikan tanggung jawab dan rasa malu, serta terjadi peningkatan frekuensi dan intensitas perjudian.
Seseorang yang sudah kecanduan judol niscaya tidak akan banyak berpikir dan cenderung hanya memenuhi hasratnya untuk terus berjudi dan memenangi pertaruhan. Seseorang yang kecanduan judi biasanya akan menghabiskan lebih banyak waktu dan uang untuk perjudian. Bahkan, pada saat mereka mengalami kesulitan keuangan karena perjudian, seseorang yang kecanduan tak jarang akan menjual barang miliknya, utang, dan bahkan melakukan tindakan krimimal atau minimal mengembangkan perilaku yang menyimpang.
Frekuensi dan intensitas perjudian akan terus meningkat. Banyak orang yang kecanduan judi kesulitan menghentikan aktivitas perjudiannya. Mereka cenderung mengabaikan tanggung jawab--meski ada perasaan bersalah dan malu.
MEREKONSTRUKSI
Untuk memberantas judol hingga seakar-akarnya, harus diakui bukan hal yang mudah. Lebih dari sekadar pendekatan hukum dan ancaman sanksi yang sifatnya punitif, yang tak kalah penting adalah pendekatan sosiologis yang mensasar para penjudi yang adiktif dan calon penjudi.
Mendekonstruksi cara berpikir masyarakat yang mudah terjerumus dalam tawaran kosong judol ialah langkah awal yang perlu dilakukan. Setelah itu, membangun dan merekonstruksi wacana baru yang rasional dan menyadarkan masyarakat agar selalu sadar bahaya judol adalah tahapan kedua yang perlu dikembangkan agar masyarakat tidak lagi terjebak pada pikiran yang keliru.
Perilaku adiktif adalah perilaku irrasional-emosional yang berkembang tatkala seseorang tidak mampu mengelola hasratnya. Untuk memastikan agar masyarakat tidak mudah larut dalam tawaran judol, yang perlu dikembangkan adalah bagaimana membangun kesadaran dan sikap kritis masyarakat menyikapi tantangan kehidupan.
Bagi masyarakat yang bermimpi memperbaiki taraf kesejahteraannya dengan cara instan, tentu perlu direkonstruksi agar mereka dapat bersikap lebih realistis. Tanpa didukung kesdaran dan sikap kritis masyarakat, jangan harap upaya memberantas judol dapat berjalan efektif dan berkelanjutan.