Ahmad Riyad Firdaus Evaluation and Accreditation Committee (EAC)-Indonesian Accreditation Board for Engineering Education (IABEE)(Dok. Pribadi)
DI era otomasi dan kecerdasan buatan (AI), dunia industri membutuhkan talenta bukan sekadar memahami teori tetapi mampu merumuskan masalah, merancang solusi, membangun sistem, dan mengoperasikannya secara nyata. Tantangan klasik pendidikan tingg -last-mile mismatch antara ruang kuliah dan kebutuhan industri, riset berhenti pada publikasi, prototipe terjebak di laboratorium tidak sampai ke pasar, serta data mutu tersebar di banyak sistem -membuat lulusan seringkali kurang siap kerja dan inovasi sulit berkontribusi pada produktivitas.
Di kawasan perbatasan seperti Batam, yang menjadi koridor strategis Singapura-Malaysia, jurang ini terasa semakin dalam karena ritme industri bergerak cepat sementara mekanisme kampus menyerap persoalan riil dan menjadikannya solusi teruji belum sepenuhnya sistemik.
Sebelum transformasi, pembelajaran masih berpusat pada dosen dan konten. Kegiatan praktikum dilaksanakan berdasarkan job sheet yang prosedural bukan fit-for-purpose terhadap kebutuhan dunia industri. Asesmen belum terukur menautkan diri pada capaian pembelajaran lulusan (CPL). Rantai hilirisasi pun lemah: tidak ada gerbang Technology Readiness Level (TRL) jelas, perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pun minim, fungsi Technology Transfer Office (TTO) belum efektif mengalirkan riset menjadi lisensi atau kontrak jasa, dan koneksi dengan akselerator bisnis pun amat terbatas.
Dari sisi tata kelola, data tersebar di berbagai sistem -mulai dari sistem informasi akademik (SIAKAD), learning management system (LMS), repositori, tracer study, hingga pusat karier- sehingga sulit ditarik menjadi insight untuk memperbaiki kurikulum, mengkalibrasi rubrik asesmen, atau mendeteksi kemacetan proyek. Akibatnya, kontribusi kampus terhadap problem industri menjadi parsial: lulusan sering butuh pelatihan ulang, prototipe mahasiswa berakhir di prototype graveyard, dan kepercayaan industri tidak tumbuh secara berulang.
Menjawab kesenjangan ini, kampus membangun mesin penyelarasan antara ruang kuliah, lantai produksi, dan pasar melalui kombinasi Project-Based Learning (PBL) yang diorkestrasi dengan kerangka Conceive–Design–Implement–Operate (CDIO), diperkuat dengan teaching factory dan Center of Excellence (CoE), serta jalur hilirisasi riset melalui P3M (pusat riset dan pengabdian) dan SHILAU (satuan hilirisasi inovasi dan layanan usaha).
Konteks Industri
Secara strategis, CDIO diadopsi sebagai sistem operasi pendidikan tinggi vokasi bukan hanya metodologi pembelajaran melainkan kerangka kerja yang menyatukan perumusan masalah, perancangan solusi, implementasi prototipe, hingga pengoperasian di lingkungan nyata.
Siklus CDIO dijalankan dengan tahapan jelas namun tetap iteratif. Pada tahap Conceive, mahasiswa didorong mengidentifikasi kebutuhan pemangku kepentingan melalui bank proyek industri; masalah, nilai tambah, ruang lingkup, dan risiko awal didefinisikan.
Pada tahap Design, mahasiswa menyusun arsitektur solusi lengkap dengan spesifikasi teknis, rencana uji, keberlanjutan, dan kelayakan bisnis; setiap desain ditinjau menggunakan rubrik CPL sehingga asesmen berbasis artefak. Selanjutnya, pada tahap Implement, prototipe atau sistem dibangun dan diuji mahasiswa di workspace, teaching factory, atau CoE; dalam proses ini mereka dilatih eksekusi teknis, manajemen mutu, keselamatan kerja, dan kepatuhan standar industri.
Terakhir, tahap Operate menjadi fase di mana solusi dipilotkan di living lab kampus atau mitra, kinerjanya diukur, umpan balik pengguna diintegrasikan, serta peluang HKI dan komersialisasi dipetakan.
Melalui siklus ini, prinsip Outcome-Based Education (OBE) bekerja nyata. Setiap capaian pembelajaran dipetakan ke artefak, rubrik penilaian, dan bukti audit. Evaluasi tidak lagi berhenti pada hafalan melainkan bertransformasi menjadi demonstrasi kinerja terukur yang relevan dengan konteks industri.
Dua penghubung memastikan siklus CDIO tidak berhenti di meja laboratorium. Pertama adalah hilirisasi: setiap portofolio mahasiswa diseleksi melalui triase oleh P3M–SHILAU, diproteksi melalui HKI, didorong pendanaan proof-of-concept, lalu dihubungkan ke akselerator bisnis atau kontrak layanan dengan skema revenue sharing melalui fungsi TTO. Kedua adalah tata kelola data dan penjaminan mutu: dashboard CPL-PBL-Riset mengintegrasikan berbagai sistem -SIAKAD, LMS, repositori, tracer, dan pusat karier- untuk mendeteksi bottleneck, misalnya CPL yang lemah atau proyek yang macet di TRL rendah, lalu menutupnya melalui closing the loop dengan siklus PDCA dan gate review di setiap fase CDIO.
Kombinasi antara CDIO–PBL, jalur hilirisasi, dan tata kelola data membentuk flywheel yang saling memperkuat. Flywheel ini dimulai dari proyek autentik berbasis kebutuhan nyata industri, yang menumbuhkan kompetensi terukur karena setiap capaian pembelajaran dibuktikan lewat artefak dan rubrik yang jelas. Kompetensi kredibel kemudian membangun kepercayaan industri. Kepercayaan ini membuat kampus mendapatkan proyek baru dan data yang lebih kaya pada siklus berikutnya.
Kualitas proyek dan data yang meningkat membuka jalan bagi riset terapan dan kontrak jasa, yang pada gilirannya memicu investasi sarana seperti teaching factory, fasilitas prototyping, dan CoE, sekaligus mendorong upskilling dosen sebagai fasilitator inovasi. Daya dukung yang kian kuat melahirkan proyek dengan nilai lebih tinggi, memutar kembali flywheel -setiap putaran lebih cepat, lebih presisi, dan lebih berdampak.
Indikator kinerja menunjukkan bahwa flywheel benar-benar bekerja. Dalam lima tahun terakhir, rata-rata 70% lulusan memperoleh pekerjaan minimal tiga bulan sebelum wisuda. Setiap semester lahir lebih dari 500 produk atau solusi teknologi mahasiswa, sebagian berkembang menjadi riset terapan, produk inovatif, bahkan prestasi kompetisi internasional. Dari lebih dari 500 topik PBL tiap semester, 10%-15%di antaranya berkolaborasi dengan industri.
Percepat Transformasi
Dalam kurun sama, tercatat lebih dari 3.000 luaran penelitian yang dihasilkan. Bagi industri, manfaatnya adalah suplai talenta job-ready dan akses solusi cepat; bagi kampus, arus balik berupa kontrak jasa, lisensi, dan pembelajaran berbasis data memperkuat kurikulum; sementara bagi ekosistem daerah, kampus berperan sebagai simpul inovasi yang mengubah persoalan industri menjadi proyek, proyek menjadi kompetensi, dan kompetensi menjadi nilai tambah ekonomi yang diinvestasikan kembali untuk meningkatkan kapasitas institusi.
Dengan arsitektur ini, kampus berhasil menutup empat celah sekaligus dalam pendidikan tinggi vokasi. Pertama, celah relevansi -proyek lahir dari persoalan nyata industri dan divalidasi melalui design review maupun operate review. Kedua, celah kompetensi -rubrik CPL tidak hanya mengukur keterampilan teknis tetapi juga transversal skills seperti komunikasi, kolaborasi, dan kepemimpinan. Ketiga, celah hilirisasi - jalur TRL, HKI, dan TTO memastikan riset tidak berhenti di laporan, melainkan bergerak menuju lisensi, jasa profesional, atau bahkan spin-off. Keempat, celah tata kelola -data yang terpadu dan gate review membuat perbaikan menjadi kebiasaan organisasi, bukan program ad hoc. Risiko seperti project drift, assessment overload, atau prototype graveyard dimitigasi melalui kurasi bank proyek, TRL gate, rubric sprint, pendanaan proof-of-concept, serta log keputusan yang terdokumentasi di setiap tahap.
Berangkat dari masalah yang jelas -last-mile mismatch talenta dan inovasi- kampus menjawab dengan membangun arsitektur belajar–riset–hilirisasi yang operasional, terukur, dan replikabel. Dampak yang muncul bukan kebetulan melainkan konsekuensi dari sistem operasi baru yang menyatukan kelas, laboratorium, dan pasar.
Inilah jembatan kampus–industri yang hidup, relevan, dan berdaya ungkit. Model ini membuktikan bahwa politeknik bukan sekadar pabrik tenaga kerja teknis melainkan mesin inovasi yang dapat mempercepat transformasi pendidikan tinggi vokasi Indonesia di era disrupsi.


















































