Melawan Sepi

5 hours ago 2
Melawan Sepi Pamong Budaya Ahli Muda Kementerian Kebudayaan RI Mohamad Atqa(Istimewa)

KESEPIAN bukan lagi soal orang tanpa teman, melainkan tentang dunia yang semakin riuh tapi terasa kosong. Di balik koneksi digital dan obrolan singkat di media sosial, banyak jiwa merasa terasing. Fenomena ini menjadi epidemi sosial global, dan Indonesia pun tak kebal.

Hampir satu dari empat orang di dunia, atau lebih dari 1 miliar orang, merasa kesepian, berdasarkan survei Meta-Gallup (2023) yang melibatkan lebih dari 140 negara. WHO pun menyoroti lonjakan drastis remaja Indonesia kesepian dari 8,7% (2007) menjadi 19% (2023). Riset Health Collaborative Center (2023) memperkuat temuan tersebut: 44% warga Jabodetabek mengalami kesepian sedang.

Kesepian bukan hanya menyesakkan batin, itu juga mempercepat laju kematian. Menurut National Institute on Aging Amerika Serikat, risiko kesehatan akibat isolasi sosial berkepanjangan setara dengan merokok 15 batang per hari. Studi terbaru dari UK Biobank bahkan menemukan bahwa rasa kesepian memicu perubahan pada puluhan protein tubuh yang berkaitan dengan peradangan, stres kronis, dan penurunan kekebalan.

Merajut Kembali Kebersamaan lewat Tindakan Kecil

Langkah kecil, dampak besar. Tradisi kita dulu sudah mengenal praktik-praktik sederhana yang memupuk kebersamaan, dari mengantar makanan ke tetangga lansia hingga gotong royong yang bukan sekadar soal kebersihan, tapi tentang merawat hubungan sosial. Sayangnya, banyak yang kini memudar, terutama di kota. Dan kini, justru saatnya nilai-nilai itu kita hidupkan kembali, dengan cara yang relevan. Program Kebaikan RT/RW, misalnya, bisa mendorong setiap warga melakukan satu aksi kebaikan tiap minggu, mengundang tetangga mampir, menemani lansia, atau sekadar menyapa.

Ini bukan utopia. Uji coba Randomized Controlled Trial internasional KIND Challenge (2024) melibatkan 4.284 orang di AS, Inggris, dan Australia, meminta mereka melakukan minimal satu perbuatan baik per minggu selama empat minggu. Hasilnya, partisipan yang ikut tantangan mencatat penurunan signifikan pada tingkat kesepian dan isolasi sosial, serta penurunan kecemasan dan stres.

Di Inggris, muncul inisiatif Chatty Cafe Scheme, menandai meja ngobrol di kafe, warung, atau perpustakaan, di mana siapa saja boleh duduk dan mulai obrolan dengan pengunjung lain. Konsep sederhana ini telah sukses mendorong ratusan kafe di Inggris (dan belahan dunia lain) membuka peluang tatap muka.

Program Friendship Bench di Zimbabwe menghadirkan bangku persahabatan di ruang publik, tempat relawan terlatih mendengarkan curhat warga dalam sesi singkat selama enam minggu. Hasilnya signifikan. Gejala depresi turun hingga 80%, dengan 2.700 kader melayani 820.000 klien sejak 2006. Di Australia, riset menunjukkan lingkungan dengan minimal 30% ruang hijau terdekat dapat menurunkan peluang kesepian hingga 26%, bahkan 50% lebih rendah bagi penduduk yang tinggal sendiri. Ini karena taman kota menyediakan social prescribing, bersosialisasi, dan melepaskan stres bersama alam.

Berbagai negara juga sudah menganggap serius isu ini dengan kebijakan nasional. Inggris, misalnya, sudah menerbitkan strategi nasional mengatasi kesepian sejak 2018 dan menunjuk menteri khusus kesepian pertama di dunia. Jepang bahkan mengesahkan undang-undang “Pencegahan Kesepian” pada 2024, mewajibkan pembentukan dewan daerah penanggulangan kesepian dan melatih relawan khusus untuk mendampingi warga yang terisolasi. Denmark menyusun strategi nasional berisi 75 aksi konkret untuk mengurangi separuh tingkat kesepian pada warga usia 16 tahun ke atas hingga 2040, melibatkan 90 organisasi, termasuk komunitas olahraga, hobi, dan lembaga lokal.

Ironisnya, di negeri yang dikenal hangat dan guyub, kita justru menghadapi epidemi sunyi yang tak kasatmata. Negara mesti hadir dalam bentuk yang paling konkret, misalnya dengan membentuk satuan kerja lintas sektor di tingkat kelurahan, yang melibatkan dinas kesehatan, sosial, pendidikan, dan tokoh masyarakat. Tugasnya sederhana tapi penting: menghidupkan simpul-simpul sosial yang terabaikan. Posyandu lansia bisa dikembangkan jadi ruang temu rutin warga senior, balai RT difungsikan sebagai “bale warga” tempat berbincang dan berkegiatan, dan pojok baca atau “sudut cerita” di taman lingkungan atau Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) bisa menjadi wahana temu lintas generasi yang menyokong aktivitas warga seperti kelas senam lansia, sesi bercerita anak, atau lomba masak RW.

Ruang publik pun perlu dipikirkan ulang. Bukan taman kota kaku yang sunyi atau gedung serbaguna yang terkunci, tapi tempat yang benar-benar memfasilitasi kehadiran warga: tempat duduk bersama, rak buku, tempat anak-anak menggambar atau orang tua bercengkerama. 

Di sisi lain, krisis kesehatan jiwa tak bisa lagi dikesampingkan. Survei Nasional Kesehatan Jiwa Remaja (I-NAMHS, 2022) menunjukkan hanya 2,6% remaja dengan gangguan psikis yang mendapat layanan profesional. Artinya, mayoritas mereka yang butuh justru tak tersentuh layanan. Perluasan konseling komunitas, pelatihan tenaga kesehatan jiwa berbasis kelurahan, serta sistem rujukan lintas sektor harus menjadi prioritas anggaran.

Pendidikan juga tak boleh netral terhadap kesepian. Kurikulum harus kembali pada misi utamanya membentuk manusia. Kompetensi seperti empati, kerja sama, dan literasi emosi tak bisa lagi dianggap pelengkap. Sekolah perlu menjadi laboratorium sosial: dari gotong royong antarkelas, proyek sosial lingkungan, hingga pelajaran merawat perasaan.

Kebijakan ini tak selalu memerlukan anggaran jumbo. Pemerintah daerah, misalnya, bisa menetapkan satu hari dalam sebulan sebagai Hari Bertetangga, dengan dukungan logistik sederhana seperti tenda, pustaka keliling, atau panggung mini di balai warga. Infrastruktur sosial mikro bisa dibangun kembali: pojok konsultasi di kelurahan, ruang komunitas di RPTRA, atau program Kunjungan Sosial ke lansia yang tinggal sendiri, dikelola karang taruna atau PKK.

Semua kegiatan ini mungkin tampak remeh di atas kertas, tapi justru di sanalah solidaritas sosial bertumbuh. Modal sosial tumbuh dari interaksi sehari-hari, bukan dari proyek mahal yang tak menyentuh warga. WHO sendiri mencatat bahwa langkah-langkah sederhana semacam ini dapat menurunkan tingkat isolasi secara signifikan, jika dilakukan dengan komitmen, konsisten, dan terorganisir. (E-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |