Malapraktik: Profesi Melemah dan Aturan Membingungkan

1 month ago 28
 Profesi Melemah dan Aturan Membingungkan (Dok. MI/SUMARYANTO)

DALAM rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI pada Juli 2025, Menteri Kesehatan mengungkapkan fakta mencengangkan bahwa sepanjang 2023 hingga pertengahan 2025 tercatat 51 dugaan kasus malapraktik medis, dengan 24 di antaranya berujung pada kematian pasien. Angka ini menyoroti persoalan serius tata kelola profesi kedokteran dan lemahnya sistem pengawasan praktik medis.

Namun, sebelum menilai lebih jauh, penting untuk memahami apa itu malapraktik dan bagaimana membedakannya dengan komplikasi medis. Malapraktik terjadi ketika dokter melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan atau pedoman praktik klinis yang telah disusun oleh perhimpunan ilmu kedokteran. Kesalahan ini bukan sekadar hasil yang tidak diharapkan, melainkan akibat langsung dari penyimpangan prosedur.

Adapun komplikasi adalah risiko bawaan dari penyakit atau terapi yang bisa muncul meskipun dokter sudah bekerja sesuai aturan. Reaksi alergi obat hingga syok anafilaktik, misalnya, merupakan komplikasi yang tidak dapat diprediksi. Sayangnya, publik sering mencampuradukkan kedua istilah ini sehingga setiap insiden medis kerap dianggap sebagai malapraktik.

ETIKA, DISIPLIN PROFESI, DAN HUKUM

Setiap profesi memiliki tiga lapisan aturan yang harus ditegakkan, yaitu etika, disiplin profesi, dan hukum. Etika menyangkut nilai moral tentang benar dan salah. Bila dilanggar secara berulang, ia berpotensi berkembang menjadi pelanggaran disiplin profesi, yakni aturan tertulis yang menjadi pakta integritas profesi.

Pada tahap terberat, pelanggaran bisa masuk ranah hukum. Contoh dalam kedokteran sangat jelas. Dokter pria yang memeriksa pasien wanita sebaiknya menghadirkan pendamping. Jika prinsip etika ini diabaikan, pelanggaran dapat meluas menjadi disiplin, bahkan pidana pelecehan seksual. Begitu pula tindakan operasi besar seperti pengangkatan rahim. Di Indonesia, prosedur ini tidak hanya memerlukan persetujuan pasien, tetapi juga keluarga besar. Jika dilakukan tanpa indikasi medis sah maka melanggar disiplin, dan bila dilakukan dokter tanpa kompetensi, bisa masuk ranah pidana.

Sejak Hippocrates, kedokteran selalu dipandang sebagai profesi menolong, bukan bisnis. Hubungan dokter dan pasien dibangun di atas kepedulian, bukan transaksi jual-beli. Pasien percaya sepenuhnya pada apa yang dikatakan dokter sehingga etika menjadi pagar utama agar kepercayaan ini tidak disalahgunakan.

Konsil Kedokteran Dunia bahkan menegaskan bahwa praktik medis yang baik hanya bisa lahir dari dokter yang menjaga etika, terus memperbarui kompetensi, dan membina hubungan baik dengan pasien serta sejawat. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya. Tanpa landasan etika, kepercayaan pasien sering dimanfaatkan untuk kepentingan finansial. Ada dokter yang meresepkan obat berlebihan, menyarankan terapi mahal tanpa bukti ilmiah, atau mendorong tindakan invasif yang sebenarnya tidak perlu. Inilah awal mula praktik tidak etis yang pada akhirnya bisa merugikan pasien dan masyarakat.

Pelanggaran etika sering kali luput dari pengawasan publik. Seorang pasien dengan cedera kepala ringan, misalnya, dioperasi, padahal hasil CT scan menunjukkan kondisi yang bisa sembuh tanpa pembedahan. Keputusan operasi itu bisa muncul karena kurangnya kompetensi dokter, atau karena keinginan mengejar tarif medis lebih besar. Meski biaya ditanggung asuransi, risiko anestesi, infeksi, dan pendarahan tetap membayangi pasien.

Bentuk pelanggaran serupa banyak ragamnya: dokter jantung meminta semua pasien menjalani CT scan, dokter umum meresepkan obat tidak perlu, dokter saraf melakukan operasi yang tak dibutuhkan, hingga tawaran suntikan sel punca untuk berbagai penyakit meski tanpa bukti manfaat ilmiah. Praktik-praktik ini tidak mungkin terdeteksi pejabat birokrasi atau direktur rumah sakit. Hanya sejawat seprofesi yang mampu menilai apakah keputusan seorang dokter masih dalam batas etika atau sudah menyimpang.

Karena itu, kode etik hanya bisa disusun dan ditegakkan oleh organisasi profesi. Dalam kedokteran, IDI melalui Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) memegang peran sentral. MKEK bukan hanya menjaga perilaku dokter, tetapi juga melindungi masyarakat dari praktik abal-abal. Ia berpedoman pada kesepakatan global, termasuk Deklarasi Madrid tentang regulasi berbasis profesi dan Deklarasi Seoul 2008 tentang otonomi profesional. Dengan sumpah dokter dan kepatuhan pada Kode Etik Kedokteran Indonesia, profesi kedokteran diharapkan tetap berdiri di atas landasan moral yang kokoh.

Berbeda dari etika, disiplin profesi diawasi oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) di bawah Konsil Kedokteran Indonesia. MKDKI berfungsi layaknya peradilan profesi: menerima pengaduan, memeriksa, dan memberi sanksi kepada dokter yang melanggar standar pelayanan. Sanksinya bisa berupa teguran, pencabutan izin, atau kewajiban mengikuti pelatihan ulang.

Namun sayangnya, tidak semua pejabat memahami perbedaan etika dan disiplin. Menteri Kesehatan bahkan pernah menyebut keberadaan MKEK dan MKDKI sebagai duplikasi, padahal keduanya berbeda secara fundamental. Kebingungan semakin nyata dengan hadirnya regulasi baru. UU 17/2023, PP 28/2024, dan Permenkes 12/2024 mencampuradukkan etika dan disiplin. Dalam UU memang disebut penegakan etika dan disiplin, tetapi pada aturan turunan istilah etika hilang. Lebih jauh, Permenkes 3/2025 bahkan mengategorikan semua pelanggaran—etika, disiplin, hingga hukum—ke dalam istilah tunggal ‘pelanggaran disiplin’.

Ketentuan ini memberi kewenangan menteri untuk menetapkan jenis pelanggaran sesuai kebutuhan. Artinya, seorang pejabat bisa menentukan sendiri apa yang dianggap salah, dari aspek moral hingga teknis medis. Hal ini menempatkan birokrasi di atas profesi, bahkan seolah di atas hukum.

Dengan aturan baru, registrasi dokter bisa berlaku seumur hidup, sementara izin praktik diambil alih administrasi kementerian. Pengawasan etika pun semakin melemah karena Majelis Disiplin Profesi berada langsung di bawah menteri, bahkan bisa dipimpin orang non-dokter. Akibatnya, otonomi profesi melemah, praktik abal-abal semakin subur, dan masyarakat berisiko menjadi korban.

Pasien dapat dijadikan kelinci percobaan dalam riset yang dibungkus sebagai pelayanan, padahal tidak mengikuti standar etik internasional. Situasi ini membuka pintu lebih lebar bagi maraknya malapraktik. Sebagaimana kata Albert Camus, “A man without ethics is a wild beast loosed upon his world.” Jika orang biasa tanpa etika saja bisa berbahaya, apalagi dokter yang berhadapan langsung dengan nyawa manusia.

PENJAGA ETIKA

Maraknya malapraktik di Indonesia bukan hanya akibat kelalaian individu dokter, melainkan buah dari pelemahan peran profesi dalam menjaga etika, pembiaran praktik tidak etis demi keuntungan, dan inkonsistensi aturan yang mencampuradukkan etika, disiplin, dan hukum.

Solusinya ialah mengembalikan peran organisasi profesi sebagai penjaga etika, sebagaimana berlaku di profesi lain seperti notaris, akuntan, arsitek, dan psikolog. Pemerintah seharusnya menghormati batas ini, bukan mengambil alih. Jika tidak, masyarakatlah yang akan terus menanggung risiko, sementara kasus malapraktik akan semakin meningkat.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |