
KOMISI Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengingatkan pemerintah Indonesia untuk secara serius melaksanakan Rekomendasi Umum Nomor 30 CEDAW tentang Perempuan dalam Konflik dan Pascakonflik. Rekomendasi tersebut menegaskan bahwa, negara pihak harus memastikan bahwa perempuan korban kekerasan di masa konflik memiliki akses terhadap keadilan, pemulihan yang efektif, reparasi yang menyeluruh (termasuk restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi), serta jaminan ketidakberulangan.
Komisioner Komnas Perempuan Dahlia Madanih menegaskan pentingnya komitmen negara untuk penyelesaian kasus kekerasan seksual, khususnya dalam situasi konflik, baik yang terjadi di masa lalu maupun yang masih berlangsung saat ini. Situasi konflik tersebut meliputi konflik intoleransi, konflik sumber daya alam dan bencana, migrasi dan perdagangan orang, serta kerentanan perempuan dalam peredaran narkotika.
"Hal ini penting bagi Indonesia untuk memastikan bahwa seluruh kebijakan dan program penanganan kekerasan seksual dalam situasi konflik didasarkan pada prinsip non-diskriminasi, akuntabilitas, partisipasi korban, reparasi, jaminan ketidakberulangan, serta pencegahan terhadap impunitas," kata Dahlia dalam keterangannya, Selasa (8/7).
Komnas Perempuan kembali menyoroti keprihatinan Komite CEDAW dalam Concluding Observations atas Laporan Periodik ke-6 dan ke-7 (2012), serta ke-8 (2021) dari Indonesia. Hal tersebut terkait belum optimalnya upaya negara dalam memenuhi hak-hak perempuan korban kekerasan seksual dalam situasi konflik. Itu termasuk peristiwa 1965, konflik di Timor Leste, Aceh, Poso, Ambon, Papua, serta Tragedi Mei 1998
Komite CEDAW mendesak negara untuk mengungkap kebenaran, memastikan reparasi yang menyeluruh, mencakup restitusi, kompensasi, rehabilitasi, serta menjamin hak atas keadilan melalui mekanisme yudisial dan non-yudisial yang berbasis pada kebutuhan korban. Negara juga didorong untuk mencegah terulangnya kekerasan serupa di masa mendatang.
“Negara memiliki tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak perempuan korban, terutama dalam menjamin kebenaran, keadilan, reparasi, dan jaminan ketidakberulangan sebagai satu kesatuan pemulihan yang berkeadilan,” tegas Komisioner Yuni Asriyanti.
Resolusi PBB
Komnas Perempuan menegaskan bahwa meskipun pemerintah Indonesia telah mengadopsi Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 melalui Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (P3KS), implementasinya hingga kini belum berjalan menyeluruh. Selain itu belum sepenuhnya berpihak pada korban dan belum melibatkan perempuan penyintas dalam pengambilan keputusan.
Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAN P3AKS), yang mencakup upaya pencegahan, penanganan, pemberdayaan, dan partisipasi, harus dijalankan secara konkret di tingkat nasional maupun daerah. Dukungan lintas sektor termasuk keterlibatan masyarakat sipil juga diperlukan.
Komnas Perempuan juga mencatat bahwa para korban kekerasan seksual dalam situasi konflik masih menanggung trauma mendalam, sementara hak-hak mereka belum sepenuhnya diakui dan dipenuhi. "Oleh karena itu, negara harus segera memenuhi tanggung jawabnya dalam kerangka keadilan transisional, yang mencakup pengungkapan kebenaran, pemulihan, serta jaminan ketidakberulangan, tegas Dahlia. (H-3)