Ketika Pangan Menjadi Simbol Peradaban, Bukan Komoditas Ekonomi dan Politik

5 hours ago 1
Ketika Pangan Menjadi Simbol Peradaban, Bukan Komoditas Ekonomi dan Politik Buku Pokok-Pokok Pikiran Ketahanan Pangan Nasional Menuju Kedaulatan Pangan diluncurkan di Bandung, Selasa (29/4).(Dok Tulip Unpad)

Berbagai kisah tentang ikhtiar Indonesia bergelut dengan persoalan pangan dikupas dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Ketahanan Pangan Nasional Menuju Kedaulatan Pangan. Buku yang diterbitkan Alumni Angkatan Tujuh Lima Fakultas Pertanian (Tulip) Universitas Padjadjaran (Unpad) itu diluncurkan di Bandung, Selasa (29/4).

Komunitas Tulip menghimpun alumni Fakultas Pertanian Unpad angkatan 1975 yang kini telah berkiprah di berbagai bidang, termasuk yang berkaitan langsung dengan isu pangan. Terdapat 30 tulisan yang ditampilkan, mengupas berbagai isu dan solusi terkait masalah pangan.

Pada tulisan pendahuluan diingatkan, masalah pangan merupakan persoalan yang kompleks, bersifat multi dimensi dan sektor. Pangan bukan hanya merupakan komoditas ekonomi, namun dia juga merupakan komoditas politik dan kemanusiaan. Isu tentang ketahanan pangan dan kedaulatan pangan tidak bisa dilihat dari aspek peningkatan produksi pangan semata. Meskipun persoalan produksi pangan juga kompleks karena memerlukan teknologi yang tepat dan canggih serta sangat dipengaruhi perubahan iklim. Persoalan pangan juga terkait dengan persoalan efektifitas distribusi dan tata kelola.

Lebih luas lagi, persoalan pangan juga terkait dengan aspek sosial politik dan sosial budaya. Untuk itu diversifikasi pangan, menjadi tidak mudah bagi seseorang, misalnya karena harus beralih makan jagung atau sagu, jika sebelumnya terbiasa makan nasi. Hal tersebut merupakan fakta sosial budaya yang tidak mudah untuk diubah.

Selain itu, persoalan pangan juga terkait dengan kemampuan membeli atau
menyediakan pangan dalam jumlah cukup. Siapapun mereka itu harus memiliki kapasitas untuk membeli dengan harga pantas dan adil sehingga tiada warga negara lain yang merasa diperas oleh pihak lain, karena harus membeli kebutuhan pokok dengan harga yang tinggi dan tidak wajar. Harus ada sistem yang mampu menjamin bahwa siapapun harus dapat membeli dengan harga pantas, dalam jumlah mencukupi dan dengan kualitas baik.

Pangan seharusnya tidak lagi ditempatkan sebagai barang komoditi ekonomi atau barang politik, tetapi juga sebagai barang yang memiliki dimensi kemanusiaan dan moral. Kalau tidak demikian maka pangan akan menjadi sumber konflik dan sengketa.

Abraham Suriadikusumah dalam tulisannya yang berjudul Tantangan Mencapai Ketahanan Pangan menuju Kedaulatan Pangan di Indonesia mengisahkan, pada 1984, Indonesia pernah berjaya menjadi negara yang
berswasembada beras dengan angka produksi sebanyak 25,8 ton, dan ini diakui secara internasional melalui penghargaan dari FAO. Swasembada diraih pada saat jumlah penduduk 161 juta jiwa dengan tingkat konsumsi beras perkapita mencapai 132,53 kg/tahun.

Namun, kejayaan swasembada ini tidak berlangsung lama, hanya sekitar
5 tahun yaitu 1984-1988. Pada tahun-tahun berikutnya Indonesia mulai mengimpor beras lagi namun dalam jumlah yang terbatas. Namun mulai 1995, Indonesia kembali mengimpor beras dalam jumlah yang meningkat, disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu krisis ekonomi tahun 1997-1998,
peningkatan jumlah penduduk, keterbatasan lahan pertanian, perubahan iklim, serta masalah infrastruktur dan teknologi pertanian yang belum optimal.

Penulis mengingatkan, kejadian impor beras ini pada gilirannya akan mengganggu ketahanan pangan nasional. Pada lingkup negara-negara ASEAN, Indonesia pada 2022, berada di peringkat 4 menurut Menurut Global Food Security Index (GFSI), dengan nilai 60,2.

Pada peluncuran buku yang diadakan dalam rangka ulang tahun ke-50 Tulip Unpad, hadir Gubernur Bank Indonesia 2003-2008 Burhanuddin Abdullah, Rektor Unpad 2007-2015 MA Ganjar Kurnia, Dekan Fakutas Pertanian Unpad Meddy Rachmadi, serta  Ketua Umum Keluarga Alumni Fakultas Pertanian (KAFP) Unpad Rudi Rubijaya.

Ketua Tulip Unpad yang juga Ketua Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (Inkindo) Laksmo Imawanto menyatakan buku setebal 442 halaman ini merupakan himpunan tulisan para akademisi, peneliti, praktisi, dan birokrat yang bergiat di bidang pertanian.

Tulisan-tulisan dalam buku ini mengingatkan menjaga ketahanan pangan yang saat ini banyak digaungkan merupakan kebutuhan yang sangat penting, tetapi tidak cukup untuk menegakkan kedaulatan sebuah negara.
Ketahanan pangan boleh dikatakan sebagai transisi menuju kedaulatan pangan untuk menuju kesejahteraan rakyat.

Nyatanya, pada 2020 hingga 2022 saja, tercatat enam dari sembilan pangan yang masuk kategori sembilan bahan pokok (sembako) yaitu beras, susu, garam, bawang merah dan bawang putih, daging sapi atau ayam, serta gula pasir, yang pasokannya masih memerlukan tambahan impor. Sementara tiga sembako lainnya dipenuhi domestik yaitu minyak goreng, telur ayam,  serta gas elpiji atau minyak tanah. Topik-topik hangat lainnya terkait pangan, termasuk food estate juga menjadi bahasan dalam buku ini.

"Refleksi penting lainnya yang muncul dari buku ini adalah bahwa pangan seharusnya tidak lagi ditempatkan semata sebagai komoditas ekonomi atau alat politik, tapi sebagai hak asasi manusia, sebagai alat perjuangan kedaulatan bangsa, dan sebagai cermin keberadaban suatu negara," kata Rektor Universitas Islam Jakarta Raihan yang juga Alumni Tulip Unpad dalam sesi bedah buku. (X-8)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |