
KABUPATEN Banyumas, Jawa Tengah, mengeklaim satu-satunya kabupaten/kota di Indonesia yang sudah tidak menggunakan tempat pembuangan akhir (TPA) secara konvensional. Pengolahan sampah di Kabupaten Banyumas sudah didelegasikan kepada kelompok swadaya masyarakat (KSM).
Asisten Bidang Perekonomian dan Pembangunan Sekretaris Daerah Kabupaten Banyumas Junaidi memaparkan, dengan jumlah penduduk 1,8 juta, timbulan sampah di wilayah ini hampir 600 ton per hari.
“Timbulan sampah paling besar berasal dari kota sebanyak 50%, sekitar 300 sampai 350 ton per hari. Komposisinya, 40% organik. Plastik kurang lebih 30%,” katanya dalam acara Diskusi Denpasar 12 secara daring, Rabu (30/4).
Banyumas pernah mengalami darurat sampah Januari-Juli 2018. Saat itu TPA yang ada sudah overload. Kemudian itu dikomplain dan ditutup sendiri oleh masyarakat, yakni TPA Kaliori, TPA Tipar Kidul, dan TPA Gunung Tugel.
Dari kejadian darurat sampah itu Banyumas menghadirkan inovasi bernama Sumpah Beruang, akronim dari sulap sampah berubah uang. “Kita mempunyai inovasi agar sampah ini bisa diubah menjadi uang. Di situ ada sirkular ekonomi, pemberdayaan masyarakat, gotong royong. Seluruh elemen terlibat untuk mengelola sampah ini,” papar Junaidi.
Menurutnya, pengelolaan sampah secara open dumping memang harus segera diakhiri. Pasalnya itu banyak menimbulkan permasalahan. “Tanpa ada proses pengurangan dan pemilahan sampah, butuh lahan yang luas, longsor, kebakaran TPA, air lindinya mencemari lingkungan. Anggarannya pun semakin meningkat karena volume sampah dari tahun ke tahun semakin meningkat,” tuturnya.
Oleh karena itu, konsep Sumpah Beruang hadir untuk melakukan pengolahan sampah dari hulu, tengah, dan hilir secara terintegrasi.
“Masyarakat mau mengolah sampah kalau ada uangnya. Jadi masyarakat kita wajibkan untuk memilah sampah di sumber. Nanti kita berikan reward berupa uang,” ujar Junaidi.
Di hulu, pemerintah Banyumas memberikan tiga opsi bagi masyarakat untuk pemilahan sampah di rumah tangga. Melalui dua aplikasi Jeknyong dan Salinmas, serta bank sampah.
Jeknyong (Ojeke Inyong) adalah aplikasi yang memungkinkan warga untuk menjemput dan menjual sampah anorganik, serta dilengkapi dengan fitur pemesanan makanan, kendaraan, dan pembelian barang dari UMKM.
Sementara aplikasi Salinmas (Sampah Online Banyumas) memungkinkan masyarakat untuk menjual sampah organik mereka secara online kepada kelompok swadaya masyarakat (KSM) yang bertugas melakukan penjemputan dan pengelolaan sampah.
“Apakah masyarakat semuanya mau dan selesai? Ternyata tidak. Kalau tidak, harus dilarikan ke tengah. Di tengah kita bentuk kelompok masyarakat. Kita siapkan TPST (tempat pengolahan sampah terpadu) atau TPS3R (tempat pengolahan sampah reduce, reuse, recycle) atau PDU (pusat daur ulang),” jelasnya.
Permasalahan sampah tidak selesai di situ. Pasalnya sampah ada yang bernilai ekonomi dan tidak bernilai ekonomi atau residu. Sampah dari rumah tangga kemudian diangkut dan dipilah di TPST, TPS3R, atau PDU.
Sampah organik dan anorganik dipisahkan. Anorganik sendiri ada yang high value, ada yang low value. Kemudian ada residu.
“Harapan kami sebetulnya dulu di tingkat tengah ini selesai. Ternyata tidak semua KSM itu mempunyai alat pemusnah sampah atau pemusnah residu, yaitu pirolisis. Karena pirolisis ini harganya agak mahal,” kata Junaidi.
Sampah organik diproses menjadi kompos, magot, atau bahan bakar jumputan padat (BBJP) untuk PLTU. Kemudian yang anorganik yang high value bisa menjadi rongsok atau biji plastik. Kemudian yang low value diolah menjadi bahan RDF.
Di Banyumas, proses menjadi RDF hanya membutuhkan waktu sehari. Banyumas mempunyai alat yang unik yaitu mesin gibrig. Ia bisa menyelesaikan urusan sampah tanpa menggunakan TPA. Alat pengolah sampah ini bisa memisahkan antara sampah organik dengan sampah anorganik.
“Kebetulan kami dekat dengan pabrik semen sehingga bisa memproduksi atau mengolah sampah yang low value ini menjadi bahan RDF. Bagi teman-teman kabupaten/kota yang tidak ada pabrik semen, kita arahkan untuk menjadi bahan bangunan. Jadi yang low value itu dilelehkan, diproses menjadi paving plastik, ada genteng, ada papan, dan sebagainya,” paparnya.
Kemudian, sampah yang tidak memiliki nilai atau residu diserahkan ke bagian hilir. “Sisa pengolahan sampah di TPST, TPS3R, atau PDU diolah di TPA BLE (Berbasis Lingkungan & Edukasi) oleh pemerintah. Residunya dibakar dengan pirolisis non-insenerator,” kata Junaidi.
“Itu TPA kami yang bawah. Jadi TPA kami bukan sebagai tempat penimbunan sampah. Tapi di sana seluruh sampah diolah menjadi produk yang bernilai ekonomi,” pungkasnya.(H-2)