
PENGEMBANGAN infrastruktur gas berpotensi memberikan konsekuensi negatif bagi Indonesia seperti krisis iklim, risiko korupsi dan utang. Hal tersebut disampaikan debtWATCH dan Trend Asia dalam laporan terbarunya.
Laporan terbaru dari debtWATCH dan Trend Asia mencatat pengembangan infrastruktur gas menerima pembiayaan tidak langsung maupun dalam bentuk utang. Karenanya, debtWATCH dan Trend Asia menilai pengembangan proyek gas yang investasinya mencapai USD 32,4 miliar bukan investasi strategis, melainkan skema utang yang membahayakan kedaulatan energi dan ekonomi nasional.
Beberapa pengembangan proyek gas disokong oleh institusi keuangan dari Multilateral Development Banks (MDBs), seperti seperti Asian Development Bank (ADB), Asia Infrastructure International Bank (AIIB), dan World Bank Group.
“Proyek-proyek gas, seperti infrastruktur Liquified Natural Gas (LNG) justru menjerumuskan Indonesia ke dalam ketergantungan pada skema pembiayaan global yang merugikan. Kami melihat bahwa pendanaan LNG adalah bagian dari strategi global yang menunda transisi energi sejati dan mempertahankan kontrol korporasi terhadap sumber daya alam Indonesia,” ujar Diana Gultom dari debtWATCH Indonesia.
Laporan “Investasi LNG Indonesia, Jalan Mundur Komitmen Iklim” menemukan 18 proyek gas, baik LNG maupun PLTG, dengan berbagai tahapan operasional yang tersebar di seluruh Indonesia. Salah satunya, Tangguh LNG di Teluk Bintuni, Papua Barat yang menerima sokongan dana dari ADB, JBIC, dan IFC dengan estimasi USD 8 miliar. Secara umum,
pengembangan proyek gas tersebut mencerminkan ambiguitas komitmen iklim bank-bank yang telah menerbitkan kebijakan untuk menyetop pembiayaan proyek berbahan bakar fosil.
Upaya transisi energi bersih pun terancam sebab gas masih dipromosikan sebagai bentuk transisi energi yang didukung Kebijakan Energi Nasional (KEN), dengan pemanfaatan dalam bauran energi primer akan terus meningkat hingga 2060. Selain itu, pemerintah juga memprioritaskan pendanaan proyek migas dalam gelombang pertama BPI Danantara sebagai
langkah mempercepat pelaksanaan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
“Di saat urgensi dunia untuk mencapai Perjanjian Paris dengan bertransisi ke energi terbarukan yang berkeadilan pemerintah malah melakukan sebaliknya, mendorong penggunaan gas hingga berdekade ke depan. Upaya kita mencapai tujuan tersebut terancam gagal,” ujar Novita Indri, Juru Kampanye Energi Trend Asia.
Kebutuhan biaya yang besar untuk pengembangan infrastruktur gas berpotensi membuka celah korupsi yang besar. Sebelumnya, KPK sempat menetapkan mantan Direktur Utama PT Pertamina, Karen Agustiawan sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan LNG pada periode 2011 - 2021.
"Dana miliaran dolar yang terus mengalir untuk proyek LNG lebih banyak menciptakan risiko utang, korupsi, dan pencemaran lingkungan dibanding memberikan manfaat bagi rakyat. Kasus korupsi pengadaan LNG menunjukkan investasi LNG adalah area yang rawan penyelewengan dana dan tidak memberikan manfaat nyata bagi ketahanan energi Indonesia,” jelas Diana.
debtWATCH dan Trend Asia juga mencatat pengembangan proyek gas rentan akan sengketa geopolitik. Proyek LNG Blok Tuna di Laut Natuna Utara yang dikelola Premier Oil berdekatan dengan Laut Cina Selatan yang menjadi area sengketa antara Tiongkok dan Indonesia. (H-2)