
DIREKTUR Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Darmawansyah mengungkapkan, tingginya tingkat pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi disebabkan oleh ketidaksesuaian (mismatch) antara kompetensi lulusan dan kebutuhan dunia kerja.
Hal ini disampaikannya dalam Forum Diskusi Denpasar 12 bertajuk Meningkatnya Angka Pengangguran Sarjana Yang Mengkhawatirkan secara daring, Rabu (9/7).
"Kenapa banyak lulusan universitas menganggur? Penyebab yang paling dominan adalah mismatch. Kompetensi yang mereka miliki tidak sesuai dengan kebutuhan pasar kerja," jelasnya.
Darmawansyah menuturkan, berdasarkan hasil wawancara dan kunjungan langsung Kemnaker ke sejumlah kawasan industri, banyak perusahaan justru mengeluhkan kesulitan dalam mencari tenaga kerja yang sesuai. Sementara, para pencari kerja juga merasa kesulitan mendapatkan pekerjaan.
"Terjadi anomali. Ada sesuatu yang salah dalam sistem pendidikan kita jika mismatch ini terus terjadi," ucapnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025, jumlah angkatan kerja di Indonesia mencapai 153 juta orang. Dari jumlah tersebut, 145 juta telah bekerja, sementara 7,28 juta masih menganggur. Jika dirinci menurut tingkat pendidikan, angka pengangguran dari lulusan universitas mencapai 1 juta orang, diploma sebanyak 177 ribu orang, lulusan SMK sebesar 1,6 juta orang, SMA 2 juta orang, serta 2,4 juta orang dari lulusan SMP dan SD.
Selain mismatch, Darmawansyah menerangkan ada beberapa faktor lain yang menyebabkan pengangguran. Yakni, keterbatasan akses informasi, terutama di wilayah terpencil seperti luar Jawa dan Papua. Masyarakat di daerah tersebut kesulitan memperoleh informasi lowongan kerja yang relevan.
Berikutnya ialah pilihan individu. Sebagian lulusan sarjana secara sadar memilih untuk tidak langsung bekerja karena ingin mencari pekerjaan yang sesuai dengan minat.
"Kami juga menemukan mereka yang menganggur bukan karena tidak ada peluang, tetapi karena pilihan untuk tidak bekerja secara mengikat," jelasnya.
Terjadi paradoks
Di diskusi yang sama, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Pancasila Silverius Y Soeharso menyoroti persoalan krusial terkait tingginya tingkat pengangguran di kalangan lulusan SMK dan jenjang diploma (D1, D2, dan D3). Ia menjelaskan, tingkap serapan lulusan perguruan tinggi di pasar kerja saat ini hanya sekitar 10,5%, jauh lebih rendah dibandingkan lulusan pendidikan dasar (SD ke bawah) yang mencapai 40%–50%.
Kemudian, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) nasional pada tahun 2024 turun menjadi 4,91%, lebih rendah dari 2023 yang sebesar 5,32% dan 2022 dengan 5,86%.
"Ini terjadi paradoks. Ketika tren pengangguran terbuka secara nasional menunjukkan penurunan, tingkat pengangguran dari perguruan tinggi justru meningkat," tuturnya.
Silverius menilai persoalan ini bersumber dari tidak adanya keselarasan visi dalam pembangunan sistem pendidikan nasional. Pendidikan seharusnya dibangun dalam bentuk ekosistem yang terintegrasi, meliputi aspek proses produksi (pendidikan), penyerapan tenaga kerja, serta peningkatan kompetensi melalui upskilling dan reskilling.
Pendidikan tidak bisa dipandang sebagai entitas terpisah, melainkan bagian dari satu kesatuan sistem nasional yang utuh. Dia pun menyinggung inkonsistensi kebijakan akibat perubahan kepemimpinan.
"Ada istilah ganti menteri, ganti kebijakan. Ganti kurikulum, ganti buku," ujarnya.
Seharusnya, pemerintah membuat cetak biru atau blueprint strategi jangka panjang, atau roadmap pendidikan tinggi yang berkelanjutan seperti yang diterapkan di banyak negara maju. Idealnya, Indonesia memiliki rencana pendidikan tinggi yang konsisten untuk jangka waktu 25 hingga 50 tahun ke depan.
Ia juga mengkritisi fenomena komersialisasi pendidikan tinggi yang kerap terkooptasi oleh kepentingan politik dan ekonomi.
"Perguruan tinggi seharusnya tidak menjadi alat untuk mengejar keuntungan semata, melainkan menjadi wadah penciptaan manusia berkualitas," tegasnya.
Revitalisasi kurikulum
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat menekankan pentingnya revitalisasi kurikulum pendidikan tinggi agar lebih selaras dengan kebutuhan industri. Menurutnya, perlu ada kesinambungan antara dunia pendidikan dan dunia industri melalui pendekatan link and match sehingga lulusan dapat langsung terserap oleh dunia usaha.
"Revitalisasi kurikulum pendidikan tinggi berbasis kebutuhan industri bisa menjadi salah satu hal yang dapat dipertimbangkan," imbuhnya.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu mendorong adanya kolaborasi lintas sektor, yakni antara dunia pendidikan, industri, dan pemerintah untuk menciptakan ekosistem yang mendukung peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Menurutnya, melalui kerja sama yang solid, hal itu dapat membentuk sistem pembelajaran yang dinamis dan relevan dengan perkembangan dunia kerja modern.
"Pendidikan tinggi idealnya juga mampu mencetak insan-insan yang sanggup berkembang menjadi entrepreneur. Dengan begitu, mereka tak hanya mengisi lapangan kerja, tetapi juga menciptakan lapangan kerja berkualitas," katanya.
Direktur Panasonic Gobel Hiramsyah S Thaib menyatakan dukungan dan partisipasi aktif perusahaannya dalam program Magang Kampus Merdeka. Ia mengungkapkan pihaknya secara optimal menerima mahasiswa magang dalam program ini.
Menurutnya, tujuan utama dari keterlibatan ini adalah agar para mahasiswa memiliki kesiapan yang lebih matang saat lulus, tidak hanya sekadar memperoleh ijazah.
"Hal yang paling penting adalah memastikan mereka siap kerja, kompetitif, mampu berkontribusi secara penuh, serta mampu menunjukkan prestasi," tutupnya. (Ins/E-1)