
Dokter spesialis obstetri dan ginekologi serta konsultan fertilitas dari Universitas Indonesia, Upik Anggraheni, mengungkapkan bahwa remaja yang hamil di bawah usia 20 tahun seringkali belum cukup matang secara mental, sehingga berisiko mengalami depresi pasca-persalinan atau baby blues.
"Di usia 19 tahun, remaja masih berada dalam tahap pencarian jati diri dan belum siap menghadapi tanggung jawab besar sebagai orang tua, yang berpotensi memicu gangguan mental setelah melahirkan," jelas Upik dikutip dari Antara, Jumat (17/10).
Kehamilan pada usia muda sering kali tidak direncanakan dengan baik, yang dapat memengaruhi dukungan dari keluarga atau pasangan. Selain itu, kondisi ini sering dihubungkan dengan peningkatan risiko depresi pasca-persalinan serta masalah kesehatan mental lainnya, yang bisa berdampak negatif pada kualitas hidup jangka panjang.
Untuk itu, Upik menekankan pentingnya menjaga kesehatan mental selama kehamilan pada usia muda dengan cara mengelola stres. Ia menyarankan agar ibu hamil mencari kegiatan yang dapat membantu relaksasi, serta terbuka untuk berbicara mengenai kekhawatiran dengan pasangan atau keluarga.
Menurut Upik, usia ideal untuk kehamilan adalah antara 20 hingga 35 tahun, seperti yang disarankan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan Kementerian Kesehatan Indonesia, untuk menghindari risiko tinggi pada kehamilan. Kehamilan pada usia yang terlalu muda (kurang dari 20 tahun) atau terlalu tua (lebih dari 35 tahun) termasuk dalam kategori "4T" (Terlalu Muda, Terlalu Tua, Terlalu Dekat, Terlalu Banyak).
Organisasi kesehatan global dan lembaga medis ternama, seperti Mayo Clinic, juga menegaskan bahwa kesuburan mulai menurun signifikan setelah usia 32 tahun, dengan penurunan yang lebih tajam setelah usia 37 tahun. Mereka juga mengingatkan bahwa risiko komplikasi meningkat pada kehamilan di usia di atas 35 tahun.
Selain itu, kehamilan pada usia muda dapat menyebabkan masalah kesehatan jangka panjang, baik pada sistem reproduksi maupun penyakit kronis. Kurangnya perawatan prenatal yang memadai, seperti pemeriksaan rutin, dapat menghambat deteksi dini komplikasi, yang meningkatkan potensi risiko.
"Kerusakan pada rahim atau jalan lahir akibat persalinan yang sulit, perdarahan berat, atau infeksi seperti PID dapat mengganggu kehamilan selanjutnya atau memengaruhi kesuburan. Komplikasi seperti preeklamsia juga dapat meningkatkan risiko hipertensi kronis dan penyakit jantung di kemudian hari," terang Upik.
Oleh karena itu, dukungan dari keluarga, perawatan dini, dan edukasi mengenai gaya hidup sehat serta cara mengelola stres menjadi kunci dalam mengurangi risiko depresi dan kecemasan yang dapat timbul. (Z-10)