
MENJELANG Hari Anak Nasional yang akan berlangsung pada pekan depan, tindak kekerasan pada anak sampai saat ini dapat dikatakan masih marak terjadi.
Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak, Kementerian PPPA, Pribudiarta Nur Sitepu, memaparkan, berdasarkan hasil survei nasional pengalaman hidup anak dan remaja 2024, kekerasan kepada anak baik fisik, digital, hingga seksual masih menjadi masalah yang harus ditangani.
“Kekerasan fisik itu 18 dari 100 anak laki-laki dan perempuan yang mengalami ini sepanjang hidupnya. Paling besar itu ditampar, didorong, dijambak, diseret, ditendang, dicambuk, dipukul, dan sebagainya. Itu paling banyak 19% anak laki-laki mengalami hal itu dan untuk anak perempuan 14%. Jadi laki-laki dan perempuan fenomenanya hampir sama. Kemudian sisanya dicekik, dihajar dan sebagainya,” ungkapnya dalam acara Konferensi Pers Peringatan Hari Anak Nasional ke-41 Tahun 2025, Rabu (16/7).
Ketika dilihat lanjut tentang siapa yang melakukan kekerasan fisik ini, paling banyak pelaku kekerasan fisik yang melakukannya adalah teman sebaya dan orangtua.
“Jadi bisa kita ambil kesimpulan bahwa rumah tidak selalu menjadi tempat aman untuk anak, karena itu penting sekali kita meningkatkan kapasitas orangtua dalam pengasuhan,” ujar Pribudiarta.
Selain itu, kekerasan anak di ranah digital atau cyber bullying juga dikatakan cukup tinggi. Sebanyak 14,4% anak laki-laki dan 13,7% anak perempuan menyatakan pernah mengalami hal ini sepanjang hidupnya.
Bentuk cyber bullying ini sendiri 10,8% anak laki-laki dan 9,6% anak perempuan menyatakan mereka dikirimi pesan suara, gambar dan tulisan yang merendahkan, mengolok-olok atau mempermalukan melalui media sosial atau komunikasi elektronik seperti WhatsApp, Instagram, TikTok dan lainnya.
KEKERASAN SEKSUAL
Sementara itu, kekerasan ekstrem yakni kekerasan seksual jumlahnya juga cukup besar atau 9 dari 100 anak laki-laki maupun anak perempuan telah mengalami bentuk kekerasan seksual dalam hidupnya.
“Biasanya mereka dipaksa melakukan kegiatan seksual, dipaksa terlibat dalam kegiatan foto atau video seksual, diminta mengirim teks gambar atau foto. Paling banyak itu dipaksa menyaksikan atau hampir 3,64% untuk anak laki-laki dan 2,54% untuk anak perempuan,” tegasnya.
“Strategi mencegahnya, pelaku kekerasan itu paling tinggi adalah pasangan atau pacar, kemudian keluarga. Ternyata memang orang terdekat yang seharusnya mereka mengasuh anak. Kemudian dengan bentuk kekerasan yang tinggi, akses layanan pada anak usia 13-17 tahun hanya 0,52% pada anak laki-laki dan 4,35% pada anak perempuan yang mengakses layanan,” pungkas Pribudiarta. (H-1)