
DI tengah kerawanan geoekonomi dan geopolitik global akibat kebijakan tarif AS, Presiden AS Donald Trump menghadirkan ancaman lain yang juga berpotensi menciptakan krisis dunia. Begitu menduduki Gedung Putih, 20 Januari, Trump mengancam akan mengebom Iran--didahului dengan tekanan maksimum yang mencekik ekonomi musuhnya itu--bila perundingan nuklir Iran tak membuahkan hasil. Pada 3 Mei silam, seharusnya putaran perundingan tidak langsung keempat sudah dilaksanakan di Oman.
Walakin, rencana itu dibatalkan AS atas kehendak Penasihat Keamanan Nasional AS Mike Waltz yang lebih memilih solusi militer ketimbang diplomasi. Kini, Waltz sudah dicopot dari jabatannya itu. Perundingan ketiga pada 26 April tidak membuahkan hasil, tapi perunding AS Steve Witkoff dan perunding Iran Abbas Araghchi menyatakan perundingan berjalan konstruktif. Sebelum datang ke Oman, Araghchi terlebih dahulu mengunjungi Tiongkok dan Rusia untuk menyampaikan hasil-hasil perundingan sebelumnya.
Sebagai pendukung posisi Iran, Beijing dan Moskow perlu diberi tahu tentang perkembangan perundingan. Isu nuklir Iran dipandang serius oleh AS dan Israel meskipun pemimpin tertinggi Iran Ayatullah Ali Khamenei telah berulang kali menyatakan program nuklir Iran hanya untuk keperluan sipil. Urgensi penyelesaian nuklir Iran meningkat mengingat pada Oktober mendatang kesepakatan nuklir Iran atau Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) antara Iran dan lima kekuatan dunia plus Jerman (P5+1) pada 2015 akan berakhir.
Kalau JCPOA tak diperpanjang, Iran terbebas dari kesepakatan itu. Sementara itu, Iran telah memperkaya uraniumnya hingga 60%. Diperlukan pengayaan 90% untuk membuat bom. Padahal, JCPOA membatasi pengayaan hanya pada level 3,67%. Langkah itu diambil Iran untuk meningkatkan daya tawarnya setelah pada periode pertama pemerintahannya (2017-2021), Trump mundur secara sepihak dari kesepakatan yang membolehkan Iran bebas mengekspor minyaknya ke pasar global. AS dan Israel melihat JCPOA terlalu menguntungkan Iran.
Dengan keleluasaannya mengekspor energinya justru makin memperkuat 'poros perlawanan' bentukan Iran dengan membangun proksi di sejumlah negara Arab dan pengaruhnya di kawasan. Kini jendela perdamaian Iran-AS kian sempit. Bila sampai Oktober JCPOA yang direvisi sesuai dengan kehendak Trump atas permintaan Israel tidak dipulihkan, perang tak dapat dihindari. Sejauh ini, kendati PM Israel Benjamin Netanyahu mendesak AS untuk segera membom Iran, Trump masih memberi kesempatan pada penyelesaian politik melalui perundingan.
Namun, meskipun diplomasi menjadi opsi, belum tentu kesepakatan bisa dicapai. Pasalnya, Trump menginginkan program nuklir Iran dihentikan sama sekali. Ia juga menuntut Iran menghentikan program rudal balistiknya dan tak lagi mencampuri urusan domestik negara-negara Arab melalui 'poros perlawanan' untuk melawan hegemoni AS dan Israel di kawasan. Di pihak lain, Teheran menganggap tuntutan Trump itu sebagai garis merah. Teheran menyatakan bahwa Iran akan membuat bom nuklir bila keamanannya terancam. Dalam perundingan terakhir, Araghchi menyatakan isu-isu itu tidak dibicarakan.
PERSIAPAN PERANG
Dalam mengantisipasi serangan AS bersama Israel, sudah lebih dari tiga bulan terakhir Iran melakukan latihan perang skala besar. Latihan bertajuk Etedar, Zulfaqar, dan Nabi Besar itu dilakukan di seluruh Iran, Laut Oman, dan Samudra Hindia bagian utara. Tentara dan Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) mempertontonkan dan menguji senjata defensif dan ofensif baru. Negara mullah itu sedang mempersiapkan tahun hiruk pikuk ini di tengah ancaman AS terhadap fasilitas nuklir, infrastruktur energi, dan situs-situs militernya.
Persiapan Iran itu cukup beralasan mengingat pemerintahan Trump dipenuhi menteri-menteri anti-Iran. Trump sendiri tak menyembunyikan obsesinya untuk meruntuhkan rezim Iran bila tak ada kesepakatan yang mereduksi kekuatan Iran sebagai pemain regional yang penting. Namun, ide itu berbahaya. Iran adalah negara besar yang menguasai Selat Hormuz dan seluruh pantai timur Teluk Persia. Kalau AS hanya berniat mengebom situs nuklir Iran, tindakan itu sangat berisiko mengingat AS memiliki 50 ribu personel militer di 10 pangkalan militernya di Timur Tengah.
Karena Trump tidak menjanjikan insentif yang bermakna bagi Iran dan percaya pada hasutan Israel bahwa Iran kini dalam posisi sangat rentan setelah pada Oktober tahun lalu seratus jet tempur Israel membombardir sistem pertahanan udara, pangkalan rudal, dan pabrik drone-nya--dan melemahnya 'poros perlawanan' menyusul runtuhnya rezim Bashar al-Assad di Suriah dan 'kehancuran' Hizbullah di Lebanon--posisi AS dalam perundingan akan rigid yang menyulitkan jalannya perundingan.
Bagaimanapun, Iran masih punya kekuatan yang dapat membakar Timteng. Apalagi kecil kemungkinan situs-situs nuklir Iran yang berada di bawah tanah mampu dihancurkan AS. Belum lagi Rusia dan Tiongkok menentang ancaman Trump terhadap Iran. Pada Maret lalu, Moskow dan Beijing ikut latihan militer bersama Iran sebagai pesan kepada AS bahwa keduanya tak dapat menoleransi eskalasi di kawasan karena taruhan pada kepentingan geopolitik dan geoekonomi mereka sangat besar. Ketergantungan Tiongkok pada minyak Iran dan Arab Saudi cukup signifikan.
Dalam konteks Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) Tiongkok, posisi Iran sangat instrumental. Rusia juga tak ingin adanya monopoli pengaruh AS di kawasan setelah kehilangan Suriah yang memfasilitasi satu-satunya pangkalan angkatan laut dan angkatan udara Rusia di Laut Tengah. Belum lagi kerja sama strategis Rusia-Arab Saudi dalam OPEC+ yang mengendalikan harga minyak dunia.
Kalau serangan AS terhadap Iran menggunakan langit Arab Teluk, otomatis akan memaksa Iran menyerang target-target AS di negara-negara itu. Maka itu, belakangan ini kita menyaksikan langkah Riyadh memperdalam hubungannya dengan Teheran.
Itu untuk menekan Iran, Israel, dan AS melakukan latihan pasukan bersama di Laut Mediterania Timur yang melibatkan pesawat pembom jarak jauh AS B-52. Jet tempur F-35 dan F-15 milik Israel ambil bagian dalam latihan bersama itu. Pesawat pengebom B-52 AS kini sudah diparkir di Pulau Diego Garcia di Samudra Hindia. B-52 dipercaya mampu menghancurkan bungker Iran. Guna mempertinggi pressure-nya, Trump menyatakan serangan Houthi terhadap kapal kargo internasional yang melintasi Laut Merah menuju atau dari Israel dipandang sebagai serangan Iran.
Kendati sulit dipercaya, ada beberapa alasan yang berpotensi melahirkan perang. Pertama, kehendak meruntuhkan rezim Iran sudah lama melekat di benak para pemimpin Israel. Toh, perkembangan militer Iran mengancam supremasinya. Supremasi itu merupakan advantage Israel untuk mempertahankan hegemoni, sekaligus sebagai deterrence-nya di kawasan. Arab diyakini akan bersedia membangun aliansi dengannya justru karena keunggulan militernya untuk menghadapi Iran. Urgensi melumpuhkan Iran kian kritis karena perang Gaza akan berujung pada pendirian negara Palestina yang berakibat pada pelemahan Israel.
Kedua, Israel tak percaya program nuklir Iran bertujuan sipil. Ketiga, Iran tak bersedia menjelaskan kepada IAEA jejak uranium yang telah diperkaya di dua situs yang tidak dideklarasikan Iran. Hal itu terjadi pada 2002. Permintaan IAEA untuk menginvestigasi situs-situs itu ditolak Iran karena menyangkut rahasia militernya. Bagaimanapun, sikap Iran ini justru memperkuat kecurigaan musuh-musuhnya. Keempat, kemajuan pesat program nuklir Iran dan waktu yang tersedia untuk menyelesaikannya sudah sangat mepet.
MEMBAHAYAKAN DUNIA
Waktu yang tersedia untuk menyelesaikan JCPOA tinggal sedikit. Kesediaan Iran mencari solusi damai bagi program nuklirnya tidak boleh dipandang sebagai indikasi kerentanannya sehingga dapat diperas untuk menerima kesepakatan baru sesuai syarat-syarat yang ditentukan Trump dan Netanyahu tanpa konsesi yang mengakomodasi kepentingan ekonomi dan keamanan musuh-musuhnya. Iran adalah bangsa dengan peradaban kuno yang bangga pada dirinya. Tekanan berlebihan yang mempermalukannya tidak akan bisa diterima Iran.
Mumpung sudah tercipta suasana perundingan yang kondusif, pihak-pihak yang berkepentingan harus menggunakan kesempatan ini untuk menyelamatkan dunia dari ketidakpastian ekonomi, politik, dan militer. Damai selalu lebih baik daripada perang. Memang untuk menciptakan perdamaian perlu menyiapkan perang. Namun, kepercayaan diri berlebihan atas kekuatannya sehingga bersikap nonkompromistis justru dapat membawa pada konsekuensi serius bagi dunia yang sulit diprediksi dan dikendalikan.
Untuk menginvasi Iran, setidaknya AS butuh 500 ribu tentara yang akan menyebar di wilayah yang demikian luas. Sementara itu, bila AS tak mampu menaklukkan Afghanistan dan Irak setelah berperang bertahun-tahun, bagaimana mungkin ia bisa menekuk Iran? Tampaknya pencopotan Waltz merupakan indikasi Trump tak ingin perang baru berkobar di Timteng. Namun, perundingan mendatang antara Araghchi dan Witkoff hanya mungkin berhasil bila Iran bersedia memberi konsesi berupa pembubaran poros perlawanan yang mengganggu stabilitas negara-negara Arab dan mengancam kepentingan AS di kawasan.