
KEJAKSAAN Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Timur (NTT)menahan tujuh tersangka dalam dua kasus korupsi berbeda, Jumat (9/5) sore. Dua kasus ini merugikan negara sekitar Rp7,102 miliar. Kasus dugaan korupsi pertama yakni Pengelolaan Penyertaan Modal sebesar Rp25 miliar pada PT Penjaminan Kredit Daerah (Jamkrida) atau korupsi Jamkrida NTT pada 2017.
Wakajati NTT Ikhwan Nul Hakim mengatakan pada 2019, Jamkrida NTT menempatkan dana sebesar Rp5 miliar yang diambil dari modal tersebut untuk membeli saham di PT.Terregra Asia Energy. Namun, uang sebesar itu ditransfer ke rekening pihak ketiga, yakni PT Narada Aset Manajemen (NAM).
"Pihak PT NAM juga tidak pernah mengalokasikan dana tersebut untuk pembelian saham PT Jamkrida NTT di PT Terregra Asia Energy sebagaimana maksud awal investasi," jelas Ikhwan Nul Hakim.
Menurutnya, keputusan investasi tersebut diambil oleh Komite Investasi PT Jamkrida yang terdiri dari sebagai Direktur Utama berinisial II, direktur operasional berinisial OFM, dan kepala divisi umum dan keuangan berinisial QMK. Ketiganya ditetapkan sebagai tersangka. Ketiganya diduga tidak melakukan kajian kelayakan atau analisa risiko investasi yang memadai (due diligence). Akibatnya Jamkrida mengalami kerugian sebesar Rp4,750 miliar.
Sedangkan kasus kedua ialah dugaan korupsi rehabilitasi jaringan Irigasi Wae Ces 1-4 seluas 2,750 hektare di Kabupaten Manggarai pada 2021. Nilai kontrak proyek ini sebesar Rp3.848 miliar. Kerugian negara sebesar Rp2,352 miliar. Untuk kasus ini, ada empat tersangka yang ditahan DW sebagai penyedia, SKM sebagai konsultan pengawas, ASUD sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) I, dan JG sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) II. Adapun proyek ini dijalankan oleh Dinas PUPR Provinsi NTT dengan pelaksana PT Kasih Sejati Perkasa.
Menurutnya, permasalahan dimulai sejak perencanaan proyek. PPK I yakni ASUD tidak melakukan reviu atau evaluasi terhadap dokumen perencanaan teknis yang digunakan untuk pelelangan.
Dokumen tersebut ternyata berasal dari hasil survei tahun 2019 yang dilakukan oleh pejabat Dinas PUPR saat itu, yakni Kepala Seksi Pembangunan Irigasi. Dokumen perencanaan tersebut langsung digunakan Pokja Dinas PUPR NTT untuk proses tender, tanpa pembaruan data kondisi eksisting.
Setelah kontrak diteken pada 18 Maret 2021, DW selaku Direktur PT Kasih Sejati Perkasa justru membuat perjanjian subkontrak dengan pihak lain (KE), dengan nilai kesepakatan sebesar Rp640.000 per meter kubik item terpasang, yang berbeda dengan perjanjian awal. Dalam pelaksanaannya, pekerjaan fisik irigasi tidak sesuai dengan spesifikasi teknis dan item pekerjaan yang tertuang dalam kontrak maupun adendum.
Kemudian, SKM sebagai konsultan pengawas dari decont mitra consulindo tidak melakukan verifikasi teknis yang akurat di lapangan, namun tetap membuat laporan bulanan progres pelaksanaan proyek secara kumulatif tanpa mencerminkan kondisi riil pekerjaan.
Sementara itu, JG yang bertindak sebagai PPK II tidak pernah turun ke lokasi pekerjaan untuk memastikan pelaksanaan kontrak berjalan sesuai ketentuan. Namun, ia tetap menandatangani dokumen serah terima pekerjaan (PHO), menyatakan bahwa proyek telah selesai 100%. Padahal, backup data fisik 100% dari kontraktor tidak sesuai dengan addendum II dan tidak mencerminkan kondisi pekerjaan terpasang yang sebenarnya.
"Perbuatan para tersangka menyebabkan kerugian negara dengan indikasi kuat terjadinya penyimpangan pada pelaksanaan fisik proyek irigasi yang semestinya mendukung sektor pertanian dan ketahanan pangan di Manggarai," ujarnya
Para tersangka dikenai pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, subsider: pasal 3 jo pasal 18 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Dia menyebutkan, penegakan hukum atas perkara ini menjadi bukti konkret bahwa Kejati NTT serius dalam menangani setiap dugaan tindak pidana korupsi, khususnya yang berdampak langsung pada keuangan negara dan kepentingan masyarakat luas. "Kami mencermati bahwa selama ini masih terjadi ketidakefektifan dalam penggunaan APBN, utamanya karena lemahnya tata kelola, pelanggaran aturan pengadaan barang dan jasa oleh kementerian, lembaga maupun OPD,” ujarnya.
Kondisi tersebut memperlambat tercapainya tujuan pembangunan, khususnya penanggulangan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi di NTT. Lebih dari itu, unsur pengawasan internal maupun fungsi APIP (Aparat pengawasan Intern Pemerintah) tidak berjalan optimal, sementara penegakan hukum yang seharusnya menjadi benteng terakhir masih belum progresif dan tegas di banyak daerah.
"Karena itu, Kejati NTT akan memfokuskan upaya penindakan dan pencegahan pada sektor-sektor krusial pembangunan, antara lain proyek-proyek ketahanan pangan, infrastruktur pendidikan, serta kesehatan yang langsung bersentuhan dengan kebutuhan dasar masyarakat," ujarnya. (H-3)