
KETUA Komisi III DPR RI Habiburokhman mengungkapkan sejumlah poin krusial pada Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHAP) yang kini telah memasuki tahap perumusan dan sinkronisasi hasil Panja (Panitia Kerja) oleh Timus (Tim Perumus) dan Timsin (Tim Sinkronisasi) Komisi III DPR RI dan pemerintah.
Poin pertama adalah pasal 90 soal penangkapan. Dalam RUU KUHAP diatur kesepakatan penangkapan tetap 1x24 jam, sama dengan KUHAP lama, kecuali diatur lain oleh undang-undang khusus seperti undang-undang terorisme.
"Ini membantah isu perubahan menjadi 7x24 jam," kata Habiburokhman, melalui keterangannya, Sabtu (12/7).
Poin kedua yakni pasal 7 ayat 5 tentang kewenangan Polri. KUHAP baru tidak menambah kewenangan Polri, bahkan mengurangi beberapa kewenangan dari KUHAP lama karena adanya penyidik dari institusi lain. Polri tetap menjadi penyidik utama, namun tidak ada penambahan kewenangan yang bersifat absolut.
Poin ketiga ialah tindak lanjut laporan (Pasal 23 Ayat 7). Berbeda dengan KUHAP lama yang tidak mengatur penanganan laporan yang tidak ditindaklanjuti, KUHAP baru lebih progresif. Pada pasal 23 Ayat 7 mengatur bahwa jika laporan tidak ditindaklanjuti dalam 14 hari, pelapor dapat melaporkan penyidik atau penyelidik kepada atasan atau pejabat pengawas.
Poin keempat ialah hak memilih kuasa hukum (Pasal 134). Habiburokhman mengatakan hal ini membantah tersangka tidak bisa memilih kuasa hukum. Ia menjelaskan bahwa Pasal 134 huruf B KUHAP baru secara eksplisit menjamin hak tersangka untuk memilih, menghubungi, dan mendapatkan pendampingan advokat dalam setiap pemeriksaan.
Pengaturan ini dinilai jauh lebih progresif dibandingkan KUHAP lama yang kerap menghalangi peran advokat.
Poin kelima ialah syarat penahanan (Pasal 93 Ayat 5). Syarat penahanan dalam KUHAP baru dibuat lebih terukur dibandingkan KUHAP lama yang hanya berdasarkan kekhawatiran melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana. Dalam KUHAP baru, penahanan hanya dapat dilakukan jika ada upaya jelas seperti mengabaikan panggilan dua kali, memberikan informasi tidak sesuai fakta, menghambat proses, berupaya melarikan diri, merusak/menghilangkan barang bukti, mengulangi tindak pidana, terancam keselamatannya, atau mempengaruhi saksi.
Habiburokhman mengatakan dalam RUU KUHAP juga dipastikan Mahkamah Agung tetap memiliki kewenangan untuk menerapkan aturan hukum yang relevan untuk memutus sebuah perkara (judex facti)
Pengaturan Penyadapan
Sementara itu, terkait penyadapan, Habiburokhman menegaskan bahwa tidak ada pengaturan penyadapan dalam RUU KUHAP. Isu penyadapan akan dibahas dalam undang-undang khusus terkait penyadapan yang nantinya juga akan melibatkan partisipasi publik.
"Penyadapan akan dibahas di undang-undang khusus terkait penyadapan. Nanti prosesnya panjang lagi itu. Kita uji publik, minta partisipasi masyarakat. Tidak ada pengaturan penyadapan di KUHAP ini," tegasnya.
Hingga saat ini, lebih dari 150 pasal RUU KUHAP telah disisir dan dirapikan penulisannya. Proses penyisiran ini akan dilanjutkan pada Senin (14/7) dengan Timus dan Timsin DPR dan pemerintah yang akan terus bekerja sama.
Setelah proses sinkronisasi selesai, Habiburokhman mengatakan, hasil perumusan akan diserahkan kepada Panitia Kerja (Panja) untuk dikaji ulang sebelum akhirnya diserahkan ke Komisi III. "Kami berharap lebih banyak informasi yang bisa tersampaikan dan dipahami masyarakat. Kami di sini bekerja secermat mungkin," jelasnya. (Faj/M-3)