
Surplus neraca perdagangan Indonesia masih mencatat angka besar, namun sejumlah risiko mulai mengintai kelanjutannya. Pada Maret 2025, surplus dagang Indonesia mencapai US$4,33 miliar, meningkat dari US$3,1 miliar di bulan sebelumnya dan jauh melampaui ekspektasi pasar sebesar US$2,64 miliar.
"Surplus dagang memang kuat di awal tahun ini, tapi keberlanjutannya belum terjamin," kata Senior Chief Economist Samuel Sekuritas Indonesia (SSI) Research Fithra Faisal Hastiadi melalui keterangannya, Senin (21/4).
Ia menyatakan, tekanan eksternal dan pergeseran permintaan domestik bisa mulai menekan performa dagang di paruh kedua tahun ini. Dia juga menyoroti potensi dampak dari tarif baru yang digulirkan oleh pemerintahan Amerika Serikat di bawah kendali Donald Trump.
"Ini belum tercermin dalam data Maret, namun berisiko menekan ekspor ke depan, apalagi dengan harga komoditas yang sedang melemah," kata Fithra.
Selain faktor eksternal, depresiasi rupiah yang sempat menopang ekspor juga dinilai tak akan bertahan lama. "Pelemahan rupiah mungkin membantu ekspor jangka pendek, tapi dalam jangka panjang justru bisa menekan industri karena biaya input yang naik," tambahnya.
Adapun ekspor Indonesia tumbuh 3,16% secara tahunan pada Maret 2025, memperpanjang tren ekspansi selama 12 bulan berturut-turut. Namun, laju tersebut tercatat menjadi yang paling lambat sejak Juli 2024, dan turun signifikan dari pertumbuhan 14,05% di Februari.
Ekspor nonmigas naik 2,56% menjadi US$21,80 miliar. Komoditas utama yang mendorong ekspor antara lain lemak dan minyak hewani/nabati, naik 48,25%, besi dan baja naik 11,84%, serta mesin dan peralatan mekanis naik 19,94%.
"Performa ekspor tetap cukup tangguh di tengah ketidakpastian global, termasuk tensi dagang dan pelemahan permintaan dari mitra utama," terang Fithra.
Namun, ia mengingatkan bahwa ekspor Indonesia masih sangat bergantung pada harga komoditas dan permintaan dari negara seperti Tiongkok, AS, dan Uni Eropa.
Di sisi lain, impor tumbuh 5,34% secara tahunan, lebih rendah dari ekspektasi pasar sebesar 6,6%. "Ini mencerminkan lemahnya konsumsi domestik, khususnya selama bulan Ramadan," kata Fithra.
Ia menilai rendahnya pertumbuhan impor menunjukkan tekanan pada daya beli rumah tangga, yang bisa menjadi sinyal bagi perlambatan ekonomi ke depan.
Dengan kondisi global yang tak menentu dan konsumsi domestik yang belum pulih sepenuhnya, Fithra memperkirakan surplus dagang Indonesia akan menyusut secara bertahap sepanjang tahun. (Mir)