Ilustrasim upaya mencapai FOLU Net Sink 2030.(Dok. Antara)
INDONESIA dan Inggris memperkuat kerja sama di sektor kehutanan melalui dua program strategis baru yang berfokus pada percepatan pencapaian target nasional Forestry and Other Land Use Net Sink 2030 (FOLU Net Sink 2030).
Kolaborasi ini menjadi kelanjutan dari rekam jejak panjang kemitraan kedua negara yang telah berkontribusi nyata terhadap tata kelola hutan lestari, konservasi, dan pemberdayaan masyarakat.
Pertemuan antara Wakil Menteri Kehutanan RI dan perwakilan Foreign, Commonwealth & Development Office (FCDO) Inggris menjadi momentum penting untuk memperbarui arah kerja sama bilateral di bidang kehutanan, perubahan iklim, dan pembangunan berkelanjutan.
Salah satu program yang akan dijalankan adalah Multistakeholder Forestry Programme (MFP-5), yang menjadi kelanjutan dari keberhasilan MFP-1 hingga MFP-4 (2000–2023). Program sebelumnya telah mendorong reformasi tata kelola hutan Indonesia dan memperkuat sistem Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).
Melalui skema hibah lima tahun (2025–2030), MFP-5 bertujuan memperkuat implementasi SVLK versi terbaru sekaligus mendukung pencapaian target FOLU Net Sink 2030.
Fokus utama program ini mencakup peningkatan pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management), promosi perdagangan kayu berkelanjutan, dan penguatan kolaborasi antar pemangku kepentingan di tingkat nasional maupun global.
“Program MFP-5 menjadi tonggak penting dalam memastikan bahwa tata kelola hutan Indonesia tidak hanya kuat secara regulasi, tetapi juga memberikan manfaat nyata bagi masyarakat dan ekonomi hijau,” ujar Wakil Menteri Kehutanan.
Selain MFP-5, Indonesia dan Inggris juga tengah menjajaki program Land Facility – Indonesia Country Support Project dengan judul Land to Livelihoods: Enabling Customary Land Utilisation for Resilient Food Systems.
Program ini dirancang untuk mempercepat penetapan dan pengelolaan hutan adat sebagai bagian dari model perhutanan sosial, serta memperkuat ketahanan pangan masyarakat adat melalui pengelolaan lahan yang berkelanjutan.
Fase awal proyek akan berlangsung pada November 2025 hingga Maret 2026, meliputi studi kasus, peningkatan kapasitas kelembagaan, dan penyusunan roadmap percepatan penetapan hutan adat 2026–2029.
Wilayah prioritas program mencakup Papua, Papua Barat, dan Papua Barat Daya, dengan dukungan dari Balai Perhutanan Sosial serta pemangku kepentingan daerah.
“Melalui Land Facility, kita ingin memastikan bahwa masyarakat adat menjadi pelaku utama dalam pengelolaan hutan dan sistem pangan berkelanjutan. Ini adalah bentuk nyata implementasi keadilan sosial dalam pembangunan hijau,” tambah Wakil Menteri Kehutanan, Rohmat Marzuki.
Kedua program tersebut berada dalam kerangka Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Indonesia dan Inggris mengenai kerja sama di bidang kehutanan dan penggunaan lahan (FOLU Net Sink 2030), yang ditandatangani pada 2022 dan diperpanjang hingga 2032.
Pemerintah Inggris melalui FCDO menyatakan komitmennya untuk terus mendukung Indonesia dalam memperkuat tata kelola kehutanan, konservasi keanekaragaman hayati, serta transisi menuju ekonomi rendah karbon.
Kerja sama ini diharapkan memperkuat posisi Indonesia sebagai pemimpin kawasan dalam mitigasi berbasis alam (nature-based solutions), sekaligus memastikan bahwa agenda iklim berkontribusi langsung terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. (H-3)


















































