HGU 190 Tahun di IKN Digugat ke MK

1 week ago 13
HGU 190 Tahun di IKN Digugat ke MK Desain IKN.(dok.MI)

PERWAKILAN Masyarakat Adat Dayak Kalimantan Timur mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam gugatannya, MK diminta untuk membatalkan Pasal 16A ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) tentang pemberian Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai kepada investor dengan jangka waktu yang terlalu lama (hingga 100 tahun).

Pemohon gugatan Stepanus Febyan Babaro mengatakan bahwa masyarakat adat merasa cemas, takut, dan khawatir karena pemberian HGU, HGB, dan Hak Pakai dengan jangka waktu yang terlalu lama (hingga 100 tahun) dinilai lebih memprioritaskan investor daripada melindungi hak-hak masyarakat adat.

“Bahwa tujuan memberikan kepastian investor mendapatkan konsesi tanah 190 tahun HGU dan 160 HGB semakin kuat legitimasi hukumnya bahwa kebijakan dua siklus HGU dan HGB jelas melanggar Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang telah mengatur tata cara dan jangka waktu pemberian hak atas tanah dalam membentuk HGU dan HGB,” kata Stepanus dalam permohonannya di Gedung MK pada Selasa (4/3). 

Stepanus menjelaskan pemberian konsesi tanah dalam jangka waktu beradab tersebut berpotensi semakin menyisihkan masyarakat adat dari tanah leluhur mereka. Ia juga merasa khawatir bahwa pemberian hak atas tanah dengan jangka waktu yang lama akan memperkecil kesempatan masyarakat adat untuk melestarikan tanah leluhur dan budaya mereka.

“Pemberian hak dengan jangka waktu terlalu lama dapat mengorbankan kepentingan generasi mendatang yang seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk mengelola dan memanfaatkan tanah sesuai dengan kebutuhan di masa depan. Tanah adalah sumber daya terbatas, oleh karena itu pengaturannya harus memperhatikan keberlanjutan untuk generasi selanjutnya,” jelas Stepanus. 
 
Mafia agraria juga yang semakin merajalela membuat Pemohon pesimis terhadap perlindungan tanah-tanah adat, khususnya di Kalimantan. Hal ini berpotensi menimbulkan konflik baru yang merugikan masyarakat adat Dayak dan generasi mendatang.

“Jika HGU diberikan pada tahun 2025 untuk jangka waktu 95 tahun, hak ini baru akan berakhir pada tahun 2120. Selama hampir satu abad, generasi mendatang tidak akan memiliki akses untuk mengelola tanah tersebut, meskipun ada kebutuhan mendesak di masa depan,” jelasnya. 

Selain itu, Stepanus menegaskan bahwa pemberian hak dalam jangka waktu lama tersebut juga mengancam kelestarian budaya dan identitas lokal hingga membunuh hak masyarakat adat dalam mengelola tanahnya sendiri. 
 
“Hak-hak jangka panjang atas tanah yang diberikan tersebut berpotensi bertentangan dengan keberadaan hukum adat yang biasanya mengatur kepemilikan tanah berbasis komunitas dan kearifan lokal. Sistem hukum nasional yang lebih dominan dan dapat menggantikan dan menghapuskan sistem hukum adat yang sudah berlaku turun-menurun,” tuturnya. 

Lebih jauh, pemberian hak atas tanah dalam jangka ratusan tahun dinilai dapat menimbulkan konflik horizontal dan vertikal sehingga masyarakat berpotensi mengalami kerugian konstitusional secara aktual dan potensial. Beberapa insiden konflik yang kerap muncul terkait persoalan HGU, HGB dan Hak Pakai atas tanah. 

Banyak kasus tanah masyarakat adat di berbagai daerah telah diambil alih oleh perusahaan, dan kebijakan ini berpotensi memperparah situasi tersebut, terutama bagi masyarakat adat Dayak di Kalimantan. Penerapan Pasal 16A UU 21/2023 dinilai dapat memperpanjang sejarah konflik agraria di Indonesia. 

“Permasalahan yang rumit mengenai konflik HGU, HGB dan hak pakai sering terjadi. Beberapa konflik sebagai percontohan perusahaan yang memiliki HGU berkonflik dengan masyarakat. Ada sengketa 72 orang petani dengan PT DDP di atas lahan kisaran 400 hektare. Juga terdapat 45 petani yang berkonflik dengan PT BBS di Kabupaten Muko-Muko di atas areal sengketa 300 hektare,” tukas Stepanus. 

Selain itu, pemberian hak jangka panjang kepada pihak tertentu dapat memutus hubungan erat antara masyarakat adat dengan tanah yang mereka kelola secara turun-temurun. Hal ini kata Stepanus, mengancam keberlanjutan budaya dan identitas lokal, yang sangat bergantung pada akses terhadap sumber daya alam seperti tanah, air, dan hasil hutan. 

“Misalnya, pemanfaatan hutan adat untuk perkebunan sawit selama 95 tahun dapat menghilangkan bahan baku untuk kerajinan tradisional atau ramuan obat,” terangnya.

Tumpang tindih aturan

Stepanus mengatakan terdapat tumpang tindih aturan terkait jangka waktu HGU, HGB, dan Hak Pakai. Dijelaskan bahwa Pasal 16A UU 21/2023 mengatur jangka waktu HGU hingga 95 tahun (dapat diperpanjang), HGB hingga 80 tahun, dan Hak Pakai hingga 80 tahun. Sementara itu, Pasal 9 Perpres Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan IKN juga mengatur hal serupa. 

“Tumpang tindih ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi merugikan masyarakat adat,” katanya. 

Atas dasar itu, Stepanus meminta MK untuk menyatakan Pasal 16A ayat (1), (2), dan (3) UU 21/2023 bertentangan dengan UUD 1945 atau secara bersyarat inkonstitusional. 

Jika tidak dibatalkan, ia meminta agar pasal tersebut dimaknai dengan batasan waktu yang lebih singkat, yaitu HGU maksimal 25 tahun (dapat diperpanjang 25 tahun), HGB maksimal 30 tahun (dapat diperpanjang 20 tahun), dan Hak Pakai maksimal 25 tahun (dapat diperpanjang 25 tahun). Hal ini diharapkan dapat melindungi hak-hak masyarakat adat dan mencegah konflik agraria di masa depan.

Pada kesempatan yang sama, hakim konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan bahwa dalil pemohon yang menggunakan frasa ‘cemas, takut, dan khawatir’ dinilai terlalu subjektif untuk bisa dinilai dan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. 

“Di kerugian konstitusional itu menyebutkan ‘takut, cemas khawatir’ kata-kata itu sulit bagi Mahkamah untuk menilai kalau ini dikategorikan sebagai masalah perasaan. Kalau kerugiannya dalam bentuk ongkos itu sudah jelas misalnya bersifat aktual dan potensial, jadi ini ‘takut, cemas, dan khawatir’ tidak lazim dan tidak jelas,” jelas Masyur. 

Sementara itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjelaskan bahwa kedudukan legal standing pemohon belum jelas. Menurutnya, permohonan masih kabur dalam menjelaskan apakah ia perseorangan atau bagian dari masyarakat adat yang terkena dampak.  

“Jadi yang tepat ini perseorangan atau masyarakat adat, kalau Pak Stefanus yang maju apakah mendapatkan mandat dari masyarakat adat, dan jika mendapatkan mandat itu ada kuasanya atau organisasi dari mana? Apakah bisa mewakili apa tidak? karena jika tidak kuat, ini akan berhenti di legal standing jadi percuma, walaupun ini isunya bagus,” tutur Arief. 

Kendati isu yang diajukan bersifat penting untuk dibahas dalam persidangan mahkamah, para hakim meminta kepada pemohon untuk memperbaiki permohonan agar lebih komprehensif dan aktual. Selain itu, pemohon diminta untuk memberikan studi kasus terkait kasus pemberian hak atas tanah yang terjadi negara lain sebagai sebuah perbandingan. 

“Ketika saya membaca ini langsung mengatakan ini permohonan kabur sehingga harus diperbaiki betul penulisannya, padahal persoalan yang diuji ini sangat baik dan mengena untuk bisa dibahas di Mahkamah dan dilakukan pengujian undang-undang. Saudara mempunyai waktu 14 Hari untuk memperbaiki permohonan. Dan perbaikan dokumen hard dan short copy harus diserahkan paling lambat Senin 17 Maret 2025,” pungkasnya. (Dev/P-3) 
 

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |