Eos: Awan Molekul Berukuran Raksasa, Jaraknya 300 Tahun Cahaya dari Bumi

13 hours ago 7
 Awan Molekul Berukuran Raksasa, Jaraknya 300 Tahun Cahaya dari Bumi awan molekul yang jaraknya 300 tahun cahaya dari bumi(Doc livescience)

PARA astronom menemukan awan molekul paling dekat dengan Bumi yang pernah diketahui. Penemuan ini memberi mereka kesempatan langka untuk mengamati lebih dekat proses daur ulang materi di alam semesta, proses yang menjadi bahan baku lahirnya bintang dan planet baru.

Awan ini dinamai "Eos", sesuai nama dewi fajar dalam mitologi Yunani. Eos merupakan gumpalan besar gas hidrogen berbentuk bulan sabit yang terletak sekitar 300 tahun cahaya dari Bumi.

Lebarnya sekitar 100 tahun cahaya, atau kira-kira sebesar 40 bulan Bumi yang disusun berdampingan, menjadikannya salah satu struktur terbesar di langit.

“Ukurannya luar biasa besar, dan selama ini tersembunyi,” kata Blakesley Burkhart, profesor fisika dan astronomi di Rutgers University, New Jersey, yang memimpin penemuan ini, kepada Live Science.

Meskipun ukurannya sangat besar dan jaraknya relatif dekat, Eos sulit terdeteksi karena kandungan karbon monoksidanya (CO) sangat rendah. Padahal, CO biasanya menjadi penanda utama yang digunakan astronom untuk mengenali awan molekul.

Namun, kali ini para peneliti berhasil menemukan Eos lewat cahaya berpendar (fluoresensi) dari molekul hidrogen di dalamnya. Metode baru ini bisa membuka peluang untuk menemukan banyak awan tersembunyi lain di galaksi. 

“Pasti masih banyak awan gelap tanpa CO yang menunggu untuk ditemukan,” ujar Burkhart.

Hidrogen molekuler adalah zat paling melimpah di alam semesta. Dengan menemukan dan mempelajari awan seperti Eos, para astronom bisa menemukan cadangan hidrogen yang sebelumnya tak terdeteksi, dan memperkirakan seberapa banyak bahan yang tersedia untuk pembentukan bintang dan planet.

Para peneliti melaporkan penemuan tersebut dalam sebuah makalah yang diterbitkan pada tanggal 28 April di jurnal Nature Astronomy .

“Awan ini benar-benar bersinar dalam kegelapan”

Burkhart menemukan Eos saat menganalisis data lama dari spektrograf di satelit Korea Science and Technology Satellite-1, yang diluncurkan ke orbit Bumi pada 2003 untuk memetakan distribusi gas panas di Galaksi Bima Sakti.

Seperti halnya prisma yang memecah cahaya, alat spektrograf di satelit ini memecah cahaya ultraviolet jauh menjadi spektrum panjang gelombang.

Hal ini memungkinkan ilmuwan mengenali cahaya yang dipancarkan oleh berbagai molekul. Di wilayah langit yang tampaknya kosong, data molekul hidrogen justru menunjukkan bahwa Eos 

“Benar-benar bersinar dalam gelap,” kata Burkhart dalam pernyataan dari Rutgers.

“Itu benar-benar kebetulan,” katanya kepada Live Science. “Saya sedang melihat data ini dan melihat ada struktur. Saya berpikir, ‘Hah, ini apa ya? Unik sekali,’” lanjutnya.

Bentuk bulan sabit Eos terbentuk akibat interaksi dengan struktur besar lain di langit, yaitu North Polar Spur wilayah luas berisi gas terionisasi yang membentang dari bidang Bima Sakti hingga ke kutub langit utara.

Bentuk Eos sejajar dengan North Polar Spur di garis lintang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa energi dan radiasi dari struktur besar tersebut kemungkinan berasal dari ledakan supernova atau angin Bintang telah memengaruhi dan membentuk gas di sekitarnya, termasuk Eos.

Berdasarkan simulasi yang melacak perkembangan Eos terutama bagaimana cadangan hidrogen molekul di dalamnya terkikis oleh foton dan sinar kosmik dari North Polar Spur dan sumber lain diperkirakan awan ini akan menguap dalam waktu sekitar 6 juta tahun.

Penelitian lanjutan menggunakan data dari teleskop antariksa Gaia milik Badan Antariksa Eropa (ESA), yang baru saja pensiun, mencoba mencari tanda-tanda pembentukan bintang di Eos.

Temuannya yang belum melalui proses peer-review menunjukkan bahwa sejauh ini belum ada aktivitas pembentukan bintang besar di awan tersebut. Namun, masih belum bisa dipastikan apakah Eos akan sempat membentuk bintang sebelum menghilang, ujar Burkhart.

Burkhart dan timnya sedang mengembangkan konsep misi untuk pesawat luar angkasa NASA yang akan dinamai sesuai nama awan ini.

Teleskop antariksa “Eos” ini nantinya akan mengamati panjang gelombang ultraviolet jauh untuk mengukur kandungan hidrogen molekuler di berbagai awan di Galaksi Bima Sakti termasuk awan Eos sendiri. Tujuannya: menyusun data lengkap tentang pembentukan dan penghancuran gas hidrogen molekuler.

“Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab,” kata Burkhart. “Ini baru permulaan,” tambahnya.

Sumber: livescience.com

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |