
DUA hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Saldi Isra dan Arief Hidayat, memberikan catatan kritis terhadap pengaturan usia pensiun bagi perwira tinggi TNI dalam Pasal 53 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI.
Dalam sidang uji materi di Gedung MK, Kamis (9/10), Hakim Konstitusi Saldi Isra mempertanyakan dasar rasionalitas yang melatarbelakangi perbedaan usia pensiun antara perwira tinggi bintang satu hingga bintang empat.
“Mengapa untuk semua bintara lalu kolonel batas usia pensiunnya tidak dibedakan, sementara untuk perwira tinggi bintang satu, dua, tiga, dan empat dibedakan? Apa rasional di balik ini?” tanya Saldi kepada perwakilan DPR dan pemerintah yang hadir dalam sidang uji materi UU TNI.
Saldi menekankan bahwa meskipun penentuan usia pensiun termasuk “open legal policy” atau kebijakan hukum terbuka yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang, tetap harus ada alasan logis yang dapat diterima secara konstitusional.
“Sekalipun ini kebijakan hukum terbuka, ada soal yang harus dipenuhi, yaitu rasionalitas di baliknya. Ini yang belum dijelaskan. Tolong dijelaskan karena itu akan kami nilai, apakah rasionalitas tersebut bisa diterima atau tidak,” ujar Saldi.
Saldi juga menyoroti ketentuan khusus yang memberi kewenangan kepada Presiden untuk memperpanjang masa jabatan perwira tinggi bintang empat hingga dua kali, masing-masing satu tahun.
“Padahal semakin senior harusnya semakin kita kurangi (masa dinasnya), tapi ini justru semakin senior malah bisa diperpanjang. Tolong dijelaskan rasionalitas di balik ketentuan ini,” tegasnya.
Saldi menambahkan, persoalan ini bukan hanya soal diskriminasi antar jenjang kepangkatan, melainkan menyangkut konsistensi logika hukum dan rasionalitas kebijakan.
“Ini tidak bisa dilihat semata sebagai isu diskriminasi, tetapi soal apakah kebijakan ini rasional atau tidak. Karena selama ini kita mengenal perwira tinggi itu satu kelompok, tapi sekarang usia pensiunnya dibedakan bahkan bisa diperpanjang dua tahun lagi,” pungkasnya.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyoroti sisi filosofis dan ideologis bahwa dalam konteks Indonesia, pemisahan tajam antara sipil dan militer seharusnya tidak dimaknai secara dikotomis.
“Rasanya tidak elok jika kita mendikotomikan antara sipil dan militer. Komponen untuk menjaga keamanan dan kedaulatan itu bukan hanya tugas militer, tetapi juga seluruh rakyat Indonesia,” ujar Arief.
Ia menilai bahwa kelahiran TNI di Indonesia memiliki latar sejarah dan karakter yang berbeda dibandingkan negara-negara lain. Oleh karena itu, pendekatan terhadap relasi sipil dan militer juga harus melihat landasan ideologis, filosofis, dan sosiologis yang khas Indonesia.
“Kelahiran militer di Indonesia itu berbeda dengan negara lain. Ini membawa konsekuensi dalam penerapannya. Karena itu, pemahaman antara kalangan sipil dan militer harus diarahkan untuk bersatu, bukan dipisahkan,” ujarnya.
Arief menekankan agar pemerintah dan DPR dalam pembentukan undang-undang seperti UU TNI dapat menjelaskan secara komprehensif landasan ideologis, filosofis, dan sosiologis, agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam implementasi.
“Pemerintah dan DPR harus bisa mengelaborasi landasan ideologis, filosofis, dan sosiologis yang terkait dengan lahirnya militer dan perannya dalam sejarah Indonesia, karena hal itu tak bisa dipisahkan dari konteks yuridis yang ada,” tandasnya. (Dev/P-3)