
PENGAMAT Hukum Tata Negara (HTN), Feri Amsari mengatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menangani perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (PHP-kada) 2024, cenderung mengabaikan perkara-perkara yang diduga telah terjadi pelanggaran bersifat terstruktur, sistematis dan masif (TSM). MK dinilai lebih fokus mendalami pelanggaran yang bersifat administratif dan teknis.
“Trennya berganti menjadi kesalahan administrasi atau pelanggaran dan penyimpangan teknis, itu yang lebih banyak disidangkan di Mahkamah. Bahkan problematika syarat pencalonan, itu menjadi tren yang membuat perkara-perkara dilanjutkan,” kata Feri di sela diskusi Catatan Kritis Putusan PHP Pilkada: Malpraktik Penyelenggaran Pilkada 2024 dan Disparitas Putusan MK, di kantor ICW, Jakarta, Kamis (6/3).
Feri menjelaskan bahwa MK seolah mengabaikan berbagai perkara yang bersifat TSM di berbagai daerah. Belum lagi menurutnya, banyak aduan terkait pelanggaran TSM yang sulit dilaporkan di MK karena terbentur aturan komisi pemilihan umum (KPU).
“Saya hanya berpikir, ada apa dengan perkara-perkara TSM yang didalilkan oleh para pihak. Misalnya kasus Banjar Baru itu calon tunggal. Bagaimana dengan kasus calon tunggal di daerah lain yang potensial juga melakukan TSM?” tanya Feri.
Mengenai hal itu, Feri menyayangkan peraturan KPU yang memperumit lembaga pemantau untuk bisa melaporkan gugatan perkara. Dikatakan bahwa pelaporan gugatan hanya bisa dilakukan lembaga pemantau apabila memiliki sertifikat akreditasi di tingkat provinsi, kabupaten dan kota.
“Lembaga yang melakukan pemantauan harus mendaftar di kabupaten atau provinsi tempat pemantauan. Bayangkan kalau yang punya konsentrasi itu organisasi tertentu di Jakarta, katakanlah Perludem, seberapa banyak uang Perludem bisa mengurus pendaftaran pemantauan di setiap provinsi dan kabupaten kota di Indonesia? Jadi nasib-nasib TSM-nya bagaimana, bagaimana kemudian MK membuka ruang untuk pembuktian?” tutur Feri.
Menurut Feri, adanya syarat akreditasi lembaga pemantau pemilu di tiap kota dan kabupaten justru berdampak pada terabaikannya dugaan pelanggaran yang terjadi di berbagai daerah, terlebih lagi banyak pihak lawan yang justru mencabut pelaporannya sehingga dugaan pelanggaran terabaikan.
“Misalnya TSM yang terjadi di Banten, calon lawan tidak jadi melaporkan aduan. Lalu TSM yang terjadi apakah dibiarkan? Bukankah lebih baik jika Mahkamah membuka kesempatan dari masyarakat sipil untuk mengajukan permohonan versi mereka? Bukankah logika yang sama juga berlaku kalau daerah itu calon tunggal? Pemantau yang boleh mengajukan permohonan,” jelasnya.
Feri menilai, jika TSM yang terjadi di beberapa daerah justru diabaikan begitu saja oleh MK karena tidak adanya pemohon, hal itu justru akan menjadi salah satu strategi baru ke depan untuk memenangkan Pilkada dengan menggunakan cara-cara yang curang.
“Ini biasa aja jadi pola baru ke depan, jadi pastikan Anda menang dan pastikan lawan Anda tidak ada yang mengajukan perkara ke MK. Jadi curang lah securang-curangnya dan pastikan lawan juga tidak mengajukan perkara. Ini jadi problematika kalau tujuan putusan MK mau menyelamatkan demokrasi lokal kita,” tukas Feri.
Diduga libatkan aparat
Feri mengungkapkan terdapat dua perkara pilkada dengan TSM yang dinyatakan terbukti dan harus menjalankan pemungutan suara ulang (PSU) yakni Kabupaten Serang dan Kabupaten Mahkamah Ulu. Ia menyebut bahwa dua daerah tersebut ialah bentuk TSM yang tidak melibatkan aparat negara.
“Sementara di pantauan kami, ada daerah-daerah yang TSM dengan melibatkan aparat tertentu, kenapa tidak naik ke MK juga? Ini jadi tanda tanya bagi saya dan tidak kemudian diminta oleh MK untuk pembuktian dalam sidang lanjutan, padahal itu penting untuk menjelaskan motif kecurangan penyelenggara pilkada. Namun, itu diabaikan semua,” tuturnya.
Hal itu kata Feri, justru menimbulkan kesan bagi publik bahwa MK sengaja membiarkan kasus-kasus TSM yang melibatkan aparat untuk tidak dibuktikan di persidangan. Jika demikian, setidaknya terdapat dua dampak negatif yang akan mempengaruhi kualitas pilkada mendatang.
“Pertama, dalam proses keterlibatan aparat, ini mengindikasikan adanya pembiaran aparat tertentu untuk terlibat yang diyakini akan menang, sehingga timbul persepsi tidak akan diperiksa MK. Kedua, tidak ada kesempatan bagi aparat yang dituding terlibat pelanggaran untuk menetralisir keadaan atau kesempatan membela dirinya bahwa mereka tidak terlibat, ini juga tidak adil bagi aparat,” tukasnya.
Lebih lanjut, Feri menjelaskan bahwa kasus pelanggaran TSM yang melibatkan aparat pada beberapa daerah seperti Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur justru harus terhenti di sidang pembuktian, beberapa aduan bahkan dicabut. Menurutnya, hal ini akan merugikan insitusi aparat, partai politik hingga masyarakat.
“Kami memantau ada keterlibatan aparat tertentu, tapi kemudian aparat tidak diberikan kesempatan untuk menjelaskan melalui persidangan MK, itu akan merugikan institusinya. Dan ke depan, akan tumbuh persepsi ‘manfaatkan saja aparat untuk menang di kemudian hari’. Hal ini akan merugikan pola penyelenggaran pilkada kita,” kata Feri. (Dev/P-2)