
SEBUAH fosil serangga sikada berusia 47 juta tahun yang ditemukan di Jerman baru-baru ini diidentifikasi sebagai spesies dan genus baru. Serangga purba ini, yang dinamai Eoplatypleura messelensis, menawarkan wawasan baru mengenai asal-usul dan evolusi sikada penyanyi — kelompok serangga yang dikenal luas karena suara nyaring para pejantan saat musim kawin.
Fosil berukuran sekitar 2,6 cm dengan bentang sayap 6,8 cm ini ditemukan dalam kondisi hampir utuh, lengkap dengan sayap berserat yang masih terbentang. Fosil tersebut ditemukan di Kawah Messel, sebuah situs fosil yang kaya dari zaman Eosen yang kini menjadi warisan dunia UNESCO. Lingkungan danau vulkanik dengan dasar tanpa oksigen di situs tersebut menciptakan kondisi ideal untuk pelestarian fosil.
Fosil Sikada Penyanyi Tertua di Eropa
Menurut studi yang dipublikasikan di jurnal Scientific Reports pada 29 April, Eoplatypleura messelensis merupakan contoh tertua dari sikada penyanyi sejati (keluarga Cicadidae) yang ditemukan di Eropa. Kelompok ini mencakup berbagai spesies sikada modern, seperti sikada tahunan yang muncul setiap musim panas dan sikada periodik yang muncul setiap 13 atau 17 tahun di Amerika Utara.
Meskipun spesimen yang ditemukan berjenis kelamin betina, struktur tubuhnya menunjukkan bahwa pejantan dari spesies ini kemungkinan mampu menghasilkan suara khas seperti sikada modern. Berdasarkan morfologi dan posisinya dalam pohon keluarga sikada, para peneliti menduga bahwa kemampuan "bernyanyi" sudah ada jauh lebih awal dari yang diperkirakan sebelumnya.
“Penemuan ini memundurkan garis waktu evolusi suku Platypleurini hingga 20 juta tahun lebih awal,” jelas Dr. Hui Jiang, paleontolog dari Universitas Bonn, Jerman. Suku Platypleurini kini hanya ditemukan di wilayah tropis dan subtropis Afrika serta Asia, tetapi tidak lagi ditemukan di Eropa.
Jejak Evolusi Suara dan Anatomi
Analisis terhadap fosil menunjukkan E. messelensis memiliki tubuh dan bentuk kepala yang menyerupai sikada modern. Bagian rostrumnya — alat mulut seperti moncong — masih utuh, yang mengindikasikan kemungkinan fungsinya sebagai alat pengisap cairan tanaman, seperti pada sikada masa kini.
Jejak pola dan warna pada sayap fosil ini juga terawetkan dengan baik, menunjukkan kemungkinan fungsi kamuflase seperti yang dimiliki sikada saat ini. Namun, ada beberapa perbedaan, seperti sayap depan yang lebih lebar dan pendek, yang mungkin memengaruhi cara terbang serangga ini.
Salah satu temuan menarik lainnya adalah struktur abdomen E. messelensis yang lebih besar. Hal ini membuka kemungkinan bahwa pejantan purba bisa menghasilkan suara yang lebih keras daripada kerabat modern mereka. Dengan rongga resonansi yang lebih besar, suara yang dihasilkan mungkin bahkan melebihi 100 desibel — setara suara kereta bawah tanah atau pesawat lepas landas.
“Ini masih merupakan hipotesis,” kata Jiang. “Namun studi lanjutan tentang hubungan antara morfologi dan produksi suara pada sikada modern bisa membantu menguji kemungkinan tersebut.”
Kontribusi Penting Bagi Ilmu Paleontologi
Hingga kini, catatan fosil sikada penyanyi masih sangat terbatas, hanya sekitar 44 fosil yang diketahui secara pasti. Penemuan Eoplatypleura messelensis menjadi penting karena memperkaya pemahaman tentang sejarah evolusi serangga bersuara dan menunjukkan bahwa diversifikasi sikada penyanyi terjadi jauh lebih awal dari perkiraan berdasarkan data molekuler.
Menurut Dr. Conrad Labandeira dari Museum Sejarah Alam Smithsonian, temuan ini menyiratkan bahwa masih banyak fosil Platypleurini yang belum ditemukan. Penemuan-penemuan selanjutnya akan sangat membantu dalam mengkalibrasi ulang estimasi laju evolusi sikada secara lebih akurat. (CNN/Z-2)