Dunia Anak dan Tantangan Lingkungan Sekolah

5 hours ago 1
Dunia Anak dan Tantangan Lingkungan Sekolah (MI/Duta)

PADA 1900, Raja Italia Vittorio Emanuele III dalam pidatonya menyoroti abad ke-20 sebagai 'abad anak'. Sejak saat itu, perhatian terhadap dunia anak semakin meningkat, termasuk dalam hal pendidikan dan perlindungan anak. Namun, di era modern, anak-anak menghadapi tantangan besar dalam memahami dan menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi dan sosial yang cepat. Pertanyaannya, apakah perkembangan itu membawa peluang atau justru menjadi ancaman bagi mereka? Seiring dengan berjalannya waktu, anak-anak semakin dipaksa menyesuaikan diri dengan dunia orang dewasa, sering kali dengan beban dan ekspektasi yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan mereka (Montessori, 2022).

Namun, sebagaimana dikatakan Maria Montessori, dunia yang berkembang seharusnya menyesuaikan diri dengan anak, bukan sebaliknya. Sayangnya, realitas menunjukkan bahwa lingkungan sekitar, termasuk keluarga dan sekolah, justru sering kali menjadi ancaman bagi mereka. Kasus kekerasan verbal atau fisik di sekolah masih sering terjadi, membuktikan bahwa sistem pendidikan dan lingkungan sosial kita masih belum sepenuhnya berpihak kepada anak.

TANTANGAN KEKERASAN DI SEKOLAH

Dalam konteks sekolah, kasus kekerasan terhadap anak semakin sering terjadi. Sebagai contoh, berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), terdapat 2.355 laporan kasus kekerasan di lingkungan pendidikan pada 2022 (KPAI, 2023).

Salah satu peristiwa yang mengejutkan ialah kasus Aldelia Rahma, siswi yang dibakar temannya saat jam pelajaran olahraga. Insiden itu berawal dari kegiatan gotong royong yang mana seorang siswa laki-laki dengan sengaja menyiramkan bahan bakar ke tubuh Aldelia sehingga menyebabkan luka serius. Kasus serupa juga terjadi dengan seorang siswa yang mengalami kebutaan akibat ditusuk dengan tusuk sate saat jam istirahat.

Peristiwa-peristiwa itu menunjukkan bahwa sekolah belum sepenuhnya menjadi tempat yang aman bagi anak-anak. Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap perilaku anak dan kurangnya bimbingan serta pengawasan dapat menyebabkan tindakan kekerasan yang sulit dikendalikan. Oleh karena itu, lingkungan sekolah harus dirancang dengan pendekatan yang lebih ramah anak dan berbasis perlindungan yang kuat.

MEMBANGUN LINGKUNGAN BELAJAR YANG POSITIF

Lingkungan memiliki dampak besar terhadap perkembangan psikologis dan emosional anak. Jika anak tumbuh di tempat yang sumpek, berisik, dan tidak nyaman, stres dan kecemasan akan meningkat. Sebaliknya, lingkungan yang bersih, nyaman, dan tenang dapat mendukung perkembangan kognitif serta kesejahteraan mental mereka.

Dalam dunia pendidikan, Sue Cowley (2002) menekankan pentingnya menciptakan ruang kelas yang menarik, tertata baik, dan mendukung pengalaman belajar multisensori. Hal itu dapat dilakukan dengan menghadirkan alat bantu belajar yang lengkap, ruang kelas yang penuh warna, serta fasilitas yang mendorong eksplorasi dan kreativitas anak.

Finlandia, negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, telah menerapkan program pencegahan perundungan bernama KiVa (kiusaamista vastaan), yang berarti 'melawan perundungan'. Program itu diterapkan di 90% sekolah Finlandia dan terbukti efektif mengurangi kasus kekerasan di sekolah (Mutia Nugraheni, 2019).

Sebagai langkah awal, Indonesia juga telah meluncurkan program pencegahan dan penanganan kekerasan (TPPK) melalui Kemendikbud-Ristek pada 2019. Program itu bertujuan menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dari kekerasan dengan melibatkan guru, orangtua, dan masyarakat.

Siswa juga dilibatkan menjadi konselor sebaya, sebuah metode yang telah diterapkan secara efektif dalam berbagai studi pendidikan (Carr, 1981; Suwarjo, 2008). Konseling sebaya, menurut Carr (1981), ialah suatu cara bagi para siswa belajar bagaimana memperhatikan dan membantu siswa, serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Siswa yang menjadi anggota konselor sebaya selalu dilibatkan dalam penyelesaian masalah yang dihadapi oleh teman-temannya di sekolah (Suwarjo, 2008).

Dalam konsep TPPK, peran orangtua tidak hanya terbatas pada mengawasi perkembangan anak, tetapi juga bekerja sama dengan sekolah untuk mencegah kekerasan. Lingkungan sekitar sekolah juga memiliki peran penting dalam menciptakan suasana yang aman dan mendukung anak dengan meningkatkan kesadaran dan perlindungan melalui kerja sama dengan sekolah. Namun, tingginya kasus kekerasan yang masih terjadi di sekolah menunjukkan bahwa implementasi TPPK belum berjalan secara optimal. Oleh karena itu, diperlukan langkah konkret untuk memastikan efektivitas program itu.

MENGELOLA KONFLIK DENGAN MKBS

Sekolah Sukma Bangsa Lhokseumawe telah menerapkan konsep manajemen konflik berbasis sekolah (MKBS) sejak sekolah beroperasi pada 2006. Fokusnya ialah pada penciptaan lingkungan pendidikan yang positif dan penyediaan fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan serta minat siswa. Contohnya, disediakan wahana bermain untuk melatih motorik, perpustakaan dengan permainan edukatif, serta berbagai kegiatan ekstrakurikuler seperti olahraga, berkebun, memasak, dan menggambar komik. Lingkungan belajar yang disesuaikan dengan bakat dan minat siswa itu diharapkan dapat menciptakan pengalaman belajar yang lebih menyenangkan dan berarti.

Pendekatan itu didukung dengan budaya sekolah yang kuat dalam mengontrol perilaku anak. Salah satu strategi yang diterapkan di Sekolah Sukma Bangsa Lhokseumawe ialah pembelajaran tentang resolusi konflik melalui kelas khusus yang membahas isu kekerasan, empati, dan konsep penyelesaian konflik secara damai. Ketika seorang siswa melakukan kesalahan, ia diarahkan untuk meminta maaf dan mengakui kesalahannya sebagai bagian dari proses pembelajaran sosial.

Selain itu, budaya 5S (senyum, salam, sapa, sopan, dan santun) juga diterapkan sebagai sarana menciptakan interaksi yang harmonis di lingkungan sekolah. Pendekatan itu sejalan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 yang menekankan pentingnya pencegahan kekerasan di sekolah. Dengan menerapkan prinsip pendidikan damai, sekolah dapat berperan dalam menciptakan generasi yang lebih empatik dan toleran.

Meskipun dunia anak semakin dipenuhi dengan tantangan, sekolah tetap dapat berperan sebagai tempat yang aman dan mendukung perkembangan mereka. Dengan menciptakan lingkungan belajar yang positif, menanamkan budaya damai, serta menerapkan sistem manajemen konflik yang efektif, sekolah dapat menjadi ruang yang melindungi dan mendukung pertumbuhan anak.

Seperti yang dikatakan Ali bin Abi Thalib, "Tuntunlah anak sesuai dengan zamannya," sudah saatnya kita menyesuaikan pendidikan dengan kebutuhan anak-anak di era modern ini, bukan sebaliknya. Pendidikan yang berpihak pada anak harus menjadi prioritas utama demi menciptakan generasi yang lebih cerdas, empatik, dan siap menghadapi masa depan.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |