POLEMIK royalti musik di Indonesia berlum berakhir. Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Laurensia Andrini, menyebut tantangan yang dihadapi dalam penyelesaian permasalahan ini diperkirakan timbul dari dua pihak, yakni dari Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan pelaku usaha.
Di satu sisi, LMK yang mempunyai wewenang atas penarikan royalti dinilai belum transparan, sedangkan di sisi lain pelaku usaha belum memiliki kesadaran normatif dalam menyikapi permasalahan royalti.
“Sebenarnya kalau menurut saya ini permasalahan sistemik. Ketidaktransparanan ini bisa disebabkan karena tidak adanya mekanisme transparansi yang ditetapkan," kata dia dalam siaran pers, Senin (25/8).
Padahal, di sisi lain, pengguna sendiri juga tidak merasa hal ini adalah sebuah kewajiban.
Kendati begitu, ia menyebut, peraturan mengenai penetapan tarif royalti telah ditetapkan sejak tahun 2016. Dalam aturan tersebut juga telah dijelaskan mengenai mekanisme pembayaran royalti. Pihak yang memakai karya cipta untuk kebutuhan komersil diwajibkan untuk melapor frekuensi pemutaran lagu dalam satu bulan dan dibayarkan royaltinya kepada LMKN.
“Jadi, secara normatif pelaku usaha yang melaporkan”, ungkap Ririn.
Ia menjelaskan, ketentuan dari pembayaran telah diatur dalam PP Nomor 56 Tahun 2021. Setelah proses pembayaran, LMKM akan mendistribusikan ke LMK dari musisi yang bersangkutan. Namun, pada praktiknya, masih banyak ditemukan kasus mengenai royalti musik. Hal tersebut dipengaruhi oleh budaya hukum yang ada di Indonesia.
Jika melihat ke belakang, pada sejarah Indonesia, budayanya adalah kolektif komunal. Hal tersebut terlihat dari bentuk budaya daerah, seperti tari-tarian daerah, dianggap milik daerah, bukan individu.
Secara hukum, dalam pengelolaan royalti, LMKN berkewajiban untuk melakukan audit keuangan dan kinerja minimal satu tahun sekali. Hasilnya kemudian diumumkan kepada masyarakat melalui satu media cetak nasional dan media elektronik.
Andrini juga menyampaikan, Undang-Undang No.28 Tahun 2014 tentang Hak cipta telah mengatur terkait royalti bagi pencipta dan pemilik hak atas imbalan ketika karya mereka digunakan secara komersial. Hak cipta tersebut juga diberlakukan untuk buku, lagu, karya lukisan, karya fotografi, dan lain sebagainya.
Andrini menjelaskan, pada dasarnya, setiap karya cipta memiliki hak royaltinya. Ia mengungkapkan bahwa seorang pencipta lagu berhak atas dua hal. Yang pertama adalah hak moral, yaitu berkaitan dengan hak untuk diakui sebagai pencipta lagu.
“Jadi, kenapa seseorang berhak atas royalti, utamanya karena dia punya hak cipta terhadap lagu yang dia ciptakan,” terang Andrini.
Dengan adanya hak moral, sebuah lagu tidak boleh sembarangan dimutilasi, diganti liriknya, ataupun diplesetkan tanpa seizin pencipta lagunya.
Selain itu, kata dia, royalti ini juga terkait dengan hak ekonomi. Apabila sebuah lagu diputar di tempat publik hingga dipentaskan, pencipta lagu tersebut berhak mendapatkan royalti.
Menurut dia, soal penyelesaian atas perdebatan royalti lagu memang tidak mudah. Semenjak ramainya kasus terkait royalti, upaya pembaruan dilakukan terkait aturan-aturan yang mengatur hak cipta. Salah satu Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) di Indonesia telah menempuh judicial review terkait UU tentang Hak Cipta.
Rancangan Undang-Undang juga telah diajukan ke DPR. Di sisi lain, Peraturan Menteri Hukum juga resmi dikeluarkan yakni No. 27 tahun 2025 yang mengatur mengenai pengelolaan royalti hak cipta lagu dan/atau musik. (AT/E-4)